Intisari-Online.com -Kitab ini merupakan kitab akhlak. Isinya tentang ilmu jiwa.
Kitab berfungsi sebagai peletak dasar ilmu jiwa agama. Kitab ini disusun oleh Imam al-Ghazali. Kitab yang dimaksud pada narasi adalah Ihya Ulumuddin.
Ihya Ulumuddin, Inilah Kitab Berfungsi Sebagai Peletak Dasar Ilmu Jiwa Agama Disusun Oleh Imam Al-Ghazali
Ihya Ulumuddin atau Al-Ihya merupakan kitab yang membahas tentang kaidah dan prinsip dalam menyucikan jiwa (Tazkiyatun Nafs) yang membahas perihal penyakit hati, pengobatannya, dan mendidik hati.
Ini adalah kitab yang merupakankarya paling terkenal Imam Al-Ghazali.
Hanya saja kitab ini memiliki kritikan, yaitu meskipun Imam Ghazali merupakan seorang ulama namun dia bukanlah seorang yang pakar dalam bidang hadits.
Sehingga ikut tercantumlah hadits-hadits tidak ditemukan sanadnya, berderajat lemah maupun maudhu.
Hal ini menyebabkan banyak ulama dan para ahli hadits yang kemudian berupaya meneliti, memilah dan menyusun ulang terhadap takhrij hadits yang termuat di dalam Ihya Ulumuddin.
Di antara ulama ahli hadits yang menyusun ulang kitab hadits berdasarkan Ihya Ulumuddin ini adalah Imam Ibnul Jauzi dan Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi yang menulis kitab Minhajul Qashidin dan ikhtisarnya (Mukhtasar).
Tema utama kitab ini adalahtentang kaidah dan prinsip dalam penyucian jiwa yakni menyeru kepada kebersihan jiwa dalam beragama, sifat takwa, konsep zuhud, rasa cinta yang hakiki, merawat hati serta jiwa dan sentiasa menanamkan sifat ikhlas di dalam beragama.
Riwayat Al-Ghazali
Al-Ghazali memberikan pengaruh signifikan kepada para filsuf dari lintas agama pada abad pertengahan.
Al-Ghazali lahir pada 450 H atau antara Maret 1058 hingga Februari 1059 M dengan nama asli Abu Hamind ibn Muhammad Al-Ghazali.
Al-Ghazali atau dikenal sebagai Algazel oleh orang Barat, adalah teolog Muslim, ahli hukum, filsuf, dan seorang mistik dari Persia.
Dia lahir di kota Tabaran di distrik Tus yang sekarang terletak di Iran modern.
Menurut catatan biografi tokoh dunia yang dilansir dari Famous Philosophers, ayah Al-Ghazali meninggal di tengah kemiskinan yang parah.
Sang ayah menitipkan Al-Ghazali dan adik laki-lakinya, Ahmad, dalam perawatan seorang sufi. Al-Ghazali mulai menerima pengajaran ilmu hukum Islam dari seorang guru lokal bernama Ahmad al-Radhakani.
Haus ilmu, Al-Ghazali kemudian pergi berguru dengan Al-Juwayni di Nishapur tentang ilmu hukum dan teologi.
Dia berguru hingga ajal menjemput Al-Juwayni.
Setelah itu, Al-Ghazali kemudian bergabung menjadi pemimpin agama di istana Nizam al-Mulk, yang saat itu menjadi wazir atau setara perdana menteri dari sultan Suljuk di Isfahan pada 1085.
Atas dedikasi pada ilmu agama dan penerapannya, Al-Ghazali dianugerahi gelar "Kecemerlangan Agama" dan "Mulia di antara Para Pemimpin Agama".
Pada 1091, Nizam al-Mulk mempromosikan Al-Ghazali menjadi guru besar di madrasah Nizamiyya di Baghdad.
Tapi empat tahun kemudian, pada 1095, Al-Ghazali mengalami krisis spiritual.
Guru besar ini lalu meninggalkan kariernya di Baghdad untuk pergi berziarah ke Mekkah.
Dia menghabiskan beberapa waktu di Damaskus dan Yerusalem, dalam perjalanannya mengunjungi Mekkah dan Madinah pada 1096.
Pada 1096, Al-Ghazali kembali ke Tus menghabiskan beberapa tahun berikutnya dalam pengasingan, yang tidak mengikuti ajaran yang disokong oleh negara.
Tapi Al-Ghazali tetap menerbitkan karya, menerima tamu, serta mengajar di madrasah swasta dan biara Sufi yang dibangunnya. Wazir Agung Ahmad Sanjar, Fahr al-Mulk, mendesak Ghazali untuk kembali ke Nizamiyya di Nishapur.
Awalnya, ia bersikeras menolak, tetapi akhirnya diterimanya pada 1106.
Selama hidup al-Ghazali ia menulis lebih dari 70 buku tentang sains, filsafat Islam, dan tasawuf.
Al-Ghazali menerbitkan bukunya The Incoherence of Philosophers, hal ini ditandai sebagai titik balik dalam epistemologi Islam.
Pandangan skeptisismenya membuat Al-Ghazali membentuk keyakinan bahwa semua peristiwa dan interaksi bukanlah produk dari konjungsi material, melainkan kehendak Tuhan yang hadir dan langsung.
Karya Al-Ghazali lainnya yang paling terkenal adalah Ihya "Ulum al-Din" atau Kebangkitan Ilmu Agama.
Karya tersebut mencakup hampir semua bidang ilmu Islam.
Ini termasuk yurisprudensi Islam, teologi, dan tasawuf. Buku tersebut mendapat banyak komentar positif.
Al-Ghazali kemudian menulis versi ringkas dari "The Revivial of Religious Sciences in Persia" dengan judul "Kimiya-yi sa'adat" yang juga dikenal sebagai "The Alchemy of Happiness".
Al-Ghazali memberikan pengaruh signifikan kepada para filsuf dari lintas agama pada abad pertengahan.
Salah satu yang paling terpengaruh adalah St Thomas Aquinas.
Al-Ghazali juga memainkan peran utama dalam menggabungkan Sufisme dan Syariah.
Dia adalah orang pertama yang menggabungkan konsep tasawuf ke dalam hukum Syariah dan yang pertama memberikan deskripsi formal tasawuf dalam karya-karyanya.
Al-Ghazali kembali ke Tus pada 1110 dan menolak undangan wazir agung Muhammad I untuk kembali ke Baghdad.
Menurut sebagian besar sejarawan dan catatan biografi tokoh dunia, Al-Ghazali meninggal pada 18 Desember 1111.
Ihya Ulumuddin, Inilah Kitab Berfungsi Sebagai Peletak Dasar Ilmu Jiwa Agama Disusun Oleh Imam Al-Ghazali, semoga bermanfaat.