Intisari-Online.com -Sejarah mencatat berbagai pasang surut kejayaan kerajaan.
Di Nusantara, Kerajaan Mataram pernah mencapai puncak keemasan.
Namun, setelah Sultan Agung meninggal, kekuasaan Kerajaan Mataram mengalami kemunduran karena 4 hal.
Penyebabnya tidak hanya politis, tetapi juga ekonomi, sosial, dan budaya.
Keempat faktor ini memainkan peran krusial dalam dinamika kekuasaan yang terjadi.
Artikel ini akan mengungkap satu per satu faktor tersebut.
1)Perebutan Tahta
Di antara faktor internal yang paling menonjol adalah perebutan tahta di antara para penerus Sultan Agung.
Ketiadaan pemimpin yang sebijak dan sekuat Sultan Agung memicu perpecahan dan kelemahan dalam kerajaan.
Amangkurat I, putra sulung Sultan Agung, naik tahta setelah ayahnya wafat. Namun, sifatnya yang zalim dan arogan membuatnya tidak disukai rakyat.
Baca Juga: Inilah Sistem Pemerintahan Kerajaan Mataram di Bawah Sultan Agung
Ia bahkan bersekutu dengan VOC untuk memperkuat posisinya, mengundang intervensi asing yang semakin melemahkan Mataram.
Di sisi lain, Pangeran Alit, adik Amangkurat I, merasa berhak atas tahta karena dianggap lebih saleh dan dekat dengan rakyat.
Ia pun memberontak terhadap kakaknya, memicu peperangan saudara yang berlarut-larut dan merenggut banyak korban jiwa.
Meskipun Amangkurat I berhasil mengalahkan Pangeran Alit dengan bantuan VOC, kemenangannya membawa konsekuensi pahit.
Mataram semakin terikat pada Belanda dan kehilangan banyak wilayah kekuasaannya.
2) Pemberontakan
Belum selesai luka akibat perebutan tahta, Mataram kembali dihadapkan dengan pemberontakan Trunojoyo, seorang bangsawan Madura yang merasa tidak dihargai oleh Amangkurat I.
Ia juga tidak menyukai campur tangan VOC dalam urusan kerajaan.
Trunojoyo, bersama Raden Kajoran dari Kediri, berhasil merebut sebagian besar wilayah Jawa Timur dan mendirikan Kerajaan Madura Baru.
Pemberontakan ini nyaris meruntuhkan Mataram Islam.
Amangkurat I, yang kewalahan menghadapi Trunojoyo, terpaksa meminta bantuan VOC.
Baca Juga: Bagaimana Sikap Kepemimpinan dari Sultan Agung dari Mataram Islam?
Sekali lagi, bantuan Belanda datang dengan harga yang mahal. Mataram semakin terjerat hutang dan harus menyerahkan wilayahnya sebagai jaminan.
3) Perjanjian Giyanti
Perjanjian Giyanti, bagaikan pisau bermata dua, mengakhiri perang saudara di Mataram Islam namun sekaligus menandai awal kehancurannya.
Ditandatangani pada 13 Februari 1755, perjanjian ini membagi Mataram menjadi dua: Kasunanan Surakarta Hadiningrat di bawah Pakubuwana III dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah Pangeran Mangkubumi.
Perpecahan ini melemahkan kekuatan Mataram dan membuatnya semakin terikat pada VOC, yang berperan sebagai penengah dan penjamin perdamaian.
Keberpihakan VOC pada Pakubuwana III memicu kemarahan Pangeran Sambernyawa, putra bungsu Pakubuwana II, yang kemudian melakukan perlawanan.
Pemberontakan Pangeran Sambernyawa ini mengancam stabilitas kedua kerajaan baru.
Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi, yang sebelumnya berseteru, terpaksa bersatu untuk menghadapinya dengan bantuan VOC.
4) PerjanjianSalatiga
Perjanjian Salatiga, ditandatangani pada 17 Maret 1757, mengakhiri perlawanan Pangeran Sambernyawa.
Ia mendapatkan wilayah di sebelah timur Sungai Opak dan bergelar Mangkunegara I, mendirikan Kadipaten Mangkunegaran.
Baca Juga: Prestasi Besar Sultan Agung Selama Memerintahkan Kerajaan Mataram
Perjanjian ini, meskipun membawa perdamaian, semakin menegaskan fragmentasi Mataram.
Kerajaan besar ini terpecah menjadi tiga: Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran.
Perpecahan dan intervensi VOC bagaikan penyakit kronis yang menggerogoti Mataram dari dalam.
Kekuatannya kian melemah, mengantarkan kerajaan ini menuju keruntuhannya.
Kisah Kerajaan Mataram adalah pelajaran berharga tentang naik turunnya sebuah kekuasaan.
Kita dapat memetik hikmah dari peristiwa setelah Sultan Agung meninggal, kekuasaan Kerajaan Mataram mengalami kemunduran karena 4 hal ini.
Baca Juga: Kebijakan-kebijakan yang Dilakukan Sultan Agung yang Menyebabkan Mataram Mencapai Puncak Kejayaan