Intisari-online.com - Ogoh-ogoh, patung raksasa dengan bentuk menyeramkan, merupakan salah satu ikon budaya Bali yang tak asing lagi.
Di balik sosoknya yang menakutkan, ogoh-ogoh menyimpan sejarah panjang dan makna spiritual yang mendalam.
Asal-usul
Akar tradisi ogoh-ogoh dapat ditelusuri hingga zaman pra-Hindu di Bali.
Pada masa itu, masyarakat Bali mengenal ritual "mecaru" untuk mengusir roh jahat.
Ritual ini melibatkan pembuatan boneka-boneka dari jerami dan dedaunan yang kemudian diarak keliling desa dan dibakar.
Tradisi ini kemudian berasimilasi dengan budaya Hindu dan berkembang menjadi ritual "Ngrupuk" yang dilakukan pada malam sebelum Nyepi.
Dalam ritual Ngrupuk, ogoh-ogoh menjadi simbol "Bhuta Kala", roh jahat yang mengganggu keseimbangan alam semesta.
Sejarah Perkembangan
Bentuk ogoh-ogoh yang kita kenal sekarang mulai berkembang sekitar tahun 1980-an.
Awalnya, ogoh-ogoh dibuat sederhana dari bahan-bahan alami seperti bambu dan jerami.
Seiring waktu, ogoh-ogoh semakin kompleks dengan penggunaan bahan styrofoam, fiberglass, dan cat yang mencolok.
Perkembangan ogoh-ogoh juga diiringi dengan perubahan makna.
Dari simbol roh jahat, ogoh-ogoh kini menjadi media untuk mengekspresikan kreativitas dan kritik sosial.
Tema ogoh-ogoh semakin beragam, mulai dari cerita mitologi, isu sosial, hingga fenomena politik terkini.
Makna Spiritual
Meskipun bentuknya menyeramkan, ogoh-ogoh tidak dimaksudkan untuk menakut-nakuti.
Justru, ogoh-ogoh menjadi simbol penyucian dan pemurnian.
Arak-arakan ogoh-ogoh pada malam Ngrupuk melambangkan proses pengusiran roh jahat dan menyambut datangnya Tahun Baru Saka.
Kesimpulan
Ogoh-ogoh bukan sekadar patung raksasa yang menakutkan.
Tradisi ogoh-ogoh merupakan bagian integral dari budaya Bali yang menyimpan sejarah panjang, makna spiritual, dan ruang ekspresi kreatif.