Menurut Eddy, faktor-faktor geopolitik dan perlambatan ekonomi China menjadi penyebab utama penurunan ini.
“Kondisi ekonomi global yang tidak menguntungkan karena konflik antara Rusia dan Ukraina yang tak kunjung usai menjadi salah satu faktornya,” kata Eddy seperti dilansir dari Kontan.co.id.
"Selain itu, perang di Timur Tengah dan perlambatan ekonomi China juga berpengaruh."
Eddy memperkirakan bahwa nilai ekspor minyak sawit Indonesia di tahun 2024 akan mencapai US$ 30 miliar, dengan harga sawit rata-rata berada di kisaran US$ 900 hingga US$ 1.000 per ton.
Eddy menambahkan bahwa program B35 yang diluncurkan pemerintah belum memberikan dampak yang signifikan terhadap kinerja ekspor minyak sawit.
“Belum ada dampaknya, karena konsumsi di tahun 2024, baik untuk keperluan pangan, energi, maupun oleo chemical, sebesar 25 juta ton,” tutur Eddy.
"Sedangkan produksi baik CPO maupun Palm Kernel Oil (PKO) diperkirakan mencapai 53-55 juta ton. Jadi ini tidak mengurangi atau mengganggu volume ekspor."
Baca Juga: Lewat PalmCo dan SupportingCo, Indonesia Siap Jadi Raja Sawit Dunia