Intisari-Online.com -Indonesia adalah negara yang memiliki sejarah panjang dan kompleks.
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia adalah peralihan pemerintahan dari Sukarno ke Soeharto.
Bagaimana kondisi Indonesia pada masa peralihan pemerintahan Sukarno dan Soeharto?
Artikel ini akan menjawab pertanyaan tersebut.
Supersemar, Awal Peralihan Kekuasaan
Melansir Kompas.com, Soeharto telah menguasai Indonesia secara de facto sejak ia mendapat Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 dari Presiden Soekarno.
Akan tetapi, peralihan kekuasaan baru dimulai setelah satu tahun berlalu dari Supersemar.
Pada tanggal 12 Maret 1967, penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto secara de jure disetujui dengan Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967.
TAP MPRS ini lahir dari dinamika dan proses politik yang cukup rumit.
Secara umum, ini ditunjukkan dengan dibacakannya surat pernyataan yang menyatakan penyerahan kekuasaan melalui surat yang bertanggal 22 Februari 1967, sekitar 56 tahun yang lalu.
Baca Juga: Peristiwa Supersemar Yang Misterius, Inilah Tonggak Sejarah Yang Menandai Lahirnya Orde Baru
Seperti yang dilaporkan Harian Kompas edisi 24 Februari 1967, proses ini dimulai sejak 7 Februari 1967.
Pada tanggal 7 Februari, Soeharto mendapat surat dari Presiden Soekarno. Surat itu bersifat rahasia dan pribadi dan diserahkan oleh tokoh Partai Nasional Indonesia, Hardi SH.
Surat itu mengandung penyerahan tugas pemerintahan harian dari Soekarno kepada Soeharto.
Surat itu kemudian dibahas oleh empat panglima angkatan pada 8 Februari 1967. Tidak ada kesimpulan yang dicapai, sampai akhirnya Soeharto menawarkan konsep berupa surat pernyataan pada 11 Februari 1967.
Konsep itu berisi surat pernyataan presiden terhalang, sehingga menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pemegang amanat Surat Perintah 11 Maret 1966, sesuai dengan Ketetapan MPRS Nomor XV.
Empat panglima angkatan lalu bertemu Presiden Soekarno pada 12 Februari 1967. Namun, Soekarno menolak ide Soeharto dan mengusulkan perubahan terkait bentuk dan isi.
Setelah beberapa hari, Soekarno memanggil para panglima angkatan dan menyampaikan persetujuan dengan konsep pengumuman pada 20 Februari.
Namun, ia menambahkan kata “menjaga dan menegakkan revolusi”.
Pada 22 Februari, semua menteri kemudian berkumpul di Istana Merdeka untuk mendengar Presiden Soekarno membacakan pengumuman tersebut.
Pada kenyataannya, surat dibacakan oleh Menteri Penerangan BM Diah di depan puluhan wartawan dalam dan luar negeri, di Kantor Presidium Kabinet Ampera, kawasan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Dikutip dari Harian Kompas edisi 23 Februari 1967, berikut adalah isi surat pernyataan penyerahan kekuasaan tersebut:
Baca Juga: Menurut Pendapat Kalian, Mengapa Terdapat Bias Sejarah? Yuk Simak!
Kami Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPR-S/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, setelah menyadari bahwa konflik politik yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan rakyat, bangsa, dan negara, maka dengan ini mengumumkan:
1. Kami Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPR-S/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuaraan pemerintahan kepada Pengemban Ketetapan MPRS no IX/MPRS/1966 Jenderal TNI Soeharto sesuai dengan jika Ketetapan MPRS no XV/MPRS/1966 dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa UUD 45.
2. Pengemban Ketetapan MPRS no IX/MPRS/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada setiap waktu dirasa perlu.
3. Menyerukan kepada rakyat Indonesia, para pemimpin masyarakat segebap aparatur pemerintah dan seluruh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk terus meningkatkan persatuan dan menjaga dan menegakkan revolusi dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan MPRS no XI/MPRS/1966 seperti tersebut di atas.
4. Menyampaikan dengan penuh tanggung jawab pengumuman ini kepada seluruh rakyat Indonesia dan MPRS.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi rakyat Indonesia dalam melaksanakan cita-citanya mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Jakarta, 20 Februari 1967
Presiden/Mandataris MPRS/Pangti ABRI Soekarno
Kontroversi TAP MPRS Nomor XXXIII/1967
Surat pernyataan yang menyampaikan peralihan kekuasaan itu dibacakan, kemudian harus ditetapkan secara kelembagaan, yaitu oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Sidang Istimewa MPRS yang dipimpin oleh Abdul Haris Nasution lantas menetapkan TAP MPRS Nomor XXXIII/1967.
TAP MPRS ini secara garis besar menetapkan pencabutan kekuasaan Soekarno sebagai presiden. Alasannya, dia tidak mampu lagi memenuhi pertanggungjawaban konstitusional sebagai penerima mandat MPRS.
Soekarno juga dinilai tidak mampu menjalankan haluan dan putusan MPRS, sehingga Soekarno dilarang berkegiatan politik.
TAP MPRS ini juga sekaligus menetapkan Soeharto sebagai pejabat presiden dan bertanggung jawab kepada MPRS.
Dikutip dari situs MPR, TAP MPRS ini kemudian dicabut. Salah satu alasan yang dipertimbangkan adalah, Soekarno telah dipulihkan nama baiknya dari tuduhan terlibat Gerakan 30 September 1965, yang selama ini dianggap melibatkan PKI.
Dengan demikian, tidak diperlukan proses hukum terhadap Soekarno sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 6 TAP MPRS Nomor XXXIII/1967.
Kesimpulan
Peralihan pemerintahan dari Sukarno ke Soeharto adalah salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Indonesia.
Peralihan ini membawa dampak yang besar bagi kondisi Indonesia, baik secara positif maupun negatif.
Dengan mempelajari bagaimana kondisi Indonesia pada masa peralihan pemerintahan Sukarno dan Soeharto, kita dapat memahami lebih baik tentang sejarah dan identitas bangsa kita.
Baca Juga: Mengapa Terdapat Bias Sejarah? Simak Selengkapnya Berikut Ini!