Intisari-Online.com -Ada begitu banyak hal yang dianggap sebagai penanda perubahan dari zaman Orde Lama menuju Orde Baru.
Salah satunya adalah peristiwa Supersemar.
Artikel ini akan membahas tentang perisitwa Supersemar yang misterius, tonggak sejarah yang menandai lahirnya Orde Baru.
Surat Perintah 11 Maret 166 atau biasa disingkat dengan Supersemar.
Surat ini disebut sebagai simbolpenyerahan mandat kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto pada 11 Maret 1966.
Seperti disebut di awal, Supersemar dianggap sebagaiperistiwa sejarah penting bagi Indonesia karena merupakan tonggak lahirnya Orde Baru.
Bagaimanapun juga, Sumersemar adalahmembuka jalan bagi Soeharto untuk naik menjadi presiden dan mengubah tatanan Orde Lama yang dibangun Soekarno.
Menurut sejarawan MC Ricklefs dalam bukunyaSejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2007), Demokrasi Terpimpin Soekarno mulai runtuh pada Oktober 1965.
Peristiwa G30S menimbulkan kekacauan politik.
Di sisi lain, kondisi sosial juga kacau karena tingginya inflasi.
Masalah-masalah ini memicu amarah masyarakat. Gelombang demonstrasi dari berbagai unsur masyarakat bermunculan di berbagai daerah.
"Pada 2 Oktober, Soeharto mengakui perintah dari Sukarno untuk mengambil sendiri komando tentara," tulis Ricklefs.
Syaratnya, Soeharto-lah yang diberi kekuasaan penuh untuk memulihkan ketertiban dan keamanan.
Memasuki tahun 1966, keadaan tak bertambah lebih baik. Inflasi mencapai 600 persen lebih.
Rakyat mendesak tiga hal yang dikenal dengan Tritura.
Isi Tritura yakni:
- Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI)
- Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur yang terlibat G30S
- Penurunan harga
Puncaknya pada 11 Maret 1966.
Demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran kembali terjadi di depan Istana Negara.
Demonstrasi ini didukung tentara.
Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto pun meminta agar Soekarno memberikan surat perintah untuk mengatasi konflik apabila diberi kepercayaan.
Menurut laporan Harian Kompas,permintaan itu dititipkan Soeharto kepada tiga jenderal AD yang datang menemui Soekarno di Istana Bogor, 11 Maret 1966 sore.
Ketiga jenderal itu adalah Brigjen Amir Machmud (Panglima Kodam Jaya), Brigjen M Yusuf (Menteri Perindustrian Dasar), dan Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Veteran dan Demobilisasi).
Permintaan Soeharto dianggap biasa oleh Soekarno.
Maka, pada 11 Maret 1996 sore di Istana Bogor, Soekarno menandatangani surat perintah untuk mengatasi keadaan.
Supersemar pada pokoknya memberi kewenangan pada Soeharo untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketertiban serta jalannya pemerintahan.
Namun pada praktiknya, Supersemar diartikan Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan dari Soekarno.
Setelah mengantongi Supersemar, Soeharto mengambil sejumlah keputusan lewat SK Presiden No 1/3/1966 tertanggal 12 Maret 1966 atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/PBR.
Keputusan tersebut berisi:
1. Pembubaran PKI beserta ormasnya dan menyatakannya sebagai partai terlarang
2. Penangkapan 15 menteri yang terlibat atau pun mendukung G30S
3. Pemurnian MPRS dan lembaga negara lainnya dari unsur PKI dan menempatkan peranan MPRS sesuai UUD 1945.
Soekarno yang diasingkan tak bisa berbuat banyak.
Sementara Soeharto mendapat kekuasaan yang semakin besar.
Hingga pada 22 Juni 1966, Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban di Sidang MPRS.
Pidato yang dikenal sebagai Nawaksara ini ditolak oleh MPRS.
Soekarno dianggap mengecewakan.
Dalam pidato itu, Soekarno bersikeras tidak mau membubarkan PKI.
Popularitas Soekarno kian tergerus.
Hingga pada 7 Maret 1967, Soekarno melepas jabatannya.
Soeharto ditunjuk untuk menjadi penjabat presiden lewat Sidang MPRS.
Soeharto resmi menjabat sebagai presiden pada 27 Maret 1968.
Itulah artikel tentang "Peristiwa Supersemar Yang Misterius, Inilah Tonggak Sejarah Yang Menandai Lahirnya Orde Baru"