Aksi Hacker Bjorka Jadi Celah untuk Ungkap 'Alat Kudeta' Soeharto, Surat 'Sakti' Supersemar 1966 yang Bikin Soekarno 'Geram' dan Berucap: 'Dikiranya Itu Transfer of Authority'

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

Soekarno dan Soeharto
Soekarno dan Soeharto

Intisari-Online.com- Hacker Bjorka kembali membuat heboh dengan membocorkan dokumen rahasia negara, Jumat (9/9/2022).

Sebelumnya, ia juga membuat kegaduhan saat lebih dari satu miliar data registrasi SIM card bocor dan diunggah Bjorka dalam forum Breached.

Data sebesar 87 GB diklaim berisi NIK, nomor ponsel, provider telekomunikasi, dan tanggal registrasi itu dijual Bjorka seharga menjualnya seharga USD50.000 atau Rp745,6 juta.

Bjorka juga mengeklaim bahwa dia berhasil membobol data di sejumlah pihak seperti Indihome, Kominfo, dan KPU.

Kali iniSebanyak 679.180 transaksi surat dan dokumen rahasia Presiden Republik Indonesia (RI) diduga bocor.

Berkaitan dengan hal itu, tak sedikit warganet yang meminta Bjorka untuk membocorkan atau mencari naskah Supersemar yang asli.

Lantas, apa itu Supersemar?

Pada 11 Maret 1966, Surat Perintah Sebelas Maret atau dikenal juga sebagai Supersemar ditandatangani oleh Presiden Soekarno.

Surat ini memiliki peran penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, dan digunakan sebagai legitimasi suksesi kepemimpinan negara dari Presiden Soekarno ke Mayor Jenderal Soeharto.

Dilansir dari Kompas.com, sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan, situasi politik di Jakarta, terutama di sekitar Istana Kepresidenan, pada 11 Maret 1966 memicu puncak ketegangan di lingkar kekuasaan.

Sejumlah pasukan tentara tidak dikenal diketahui mengepung Istana Kepresidenan, yang belakangan diketahui merupakan pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris.

Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur melaporkan soal tentara tidak dikenal itu kepada Presiden Soekarno.

Atas laporan itu, Soekarno yang saat itu memimpin sidang kabinet lalu menyerahkan kepemimpinan kepada Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena.

Soekarno lalu memutuskan untuk terbang ke Bogor dengan helikopter.

Pada hari yang sama, Menpangad Letjen Soeharto meminta supaya Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah untuk mengatasi konflik yang terjadi.

Permintaan Soeharto disetujui Soekarno, yang kemudian mengeluarkan dan menandatangani Supersemar.

Mandat dari Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto selaku Menpangad adalah:

  • Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjami keselamatan pribadi dan kewibawaan pimpinan presiden/panglima tertinggi/pemimpin besar revolusi/mandataris MPRS demi keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran pemimpin besar revolusi.
  • Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan panglima-panglima angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
  • Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.
Implementasi Supersemar

Asvi Warman Adam menilai perintah Presiden Soekarno itu ditafsirkan berbeda oleh Menpangad Letjen Soeharto.

Berselang 24 jam setelah Supersemar keluar, Soeharto membubarkan PKI dan mengumumkan PKI sebagai partai terlarang.

Langkah tersebut diputuskan Soeharto melalui SK Presiden Nomor 1/3/1966 (12 Maret 1966) yang dibuatnya atas nama Soekarno selaku Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/PBR.

Asvi mengatakan, Soekarno menganggap Soeharto keliru dalam menafsirkan perintah "mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi".

"Itu yang dijadikan dasar untuk pembubaran PKI. Jadi sangat sakti surat itu," tutur Asvi.

Soekarno, dalam penuturan Asvi, marah terhadap keputusan Soeharto.

Surat keputusan untuk membubarkan PKI diminta Soekarno untuk segera dicabut.

"Soekarno melihat kekeliruan di situ, tapi Soeharto tetap melanjutkan yang dilakukannya," tutur Asvi.

Soeharto menolak perintah Soekarno untuk mencabut surat keputusan pembubaran PKI.

Di titik inilah dugaan Supersemar menjadi "alat kudeta" muncul.

Dalam pidato peringatan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1966, Soekarno membantah telah memberikan surat kuasa untuk transfer kekuasaan kepada Letjen Soeharto.

"Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer of authority, padahal tidak," kata Soekarno dalam pidato berjudul "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" atau lebih dikenal dengan sebutan "Jasmerah".

Baca Juga: Fakta Film G30S PKI, Telan Anggaran Ratusan Juta hingga Alasan Tak Lagi Wajib Tayang

(*)

Artikel Terkait