Selain menjadi negara yang kuat dalam perdagangan, seni dan budayanya juga maju sekali. Republik Ragusa yang mencapai zaman keemasan pada abad ke-15 dan ke-16, sangat menghormati kebebasan, termasuk dengan menyetop perdagangan budak pada tahun 1418. Dan ternyata negara pertama yang mengakui kemerdekaan Amerika Serikat adalah Republik Ragusa ini.
Belakangan perdagangan di Mediterrania meredup, kemalangan demi kemalangan menerpa. Gempa bumi dahsyat pada 1667 meluluhlantakkan Dubrovnik. Namun pukulan maut bagi Republik Ragusa bukanlah kejadian itu, tapi datang dari pasukan Napoleon pada 1806. Awalnya Napoleon hanya memblokade Dubrovnik, tapi akhirnya memasuki kota. Pada hari itu seluruh bendera di dalam kota Dubrovnik di cat hitam sebagai tanda duka yang mendalam.
Kota sarat museum
Perjalanan dengan bus hanya sebentar dan kami diturunkan di depan Pile Gate, salah satu dari dua gate dari bentengan kota kuno yang diameternya sekitar 500 meter itu. Memang bentengan banyak di mana-mana, tapi bentengan ini unik sekali, karena dibuat bukan cuma untuk melindungi sebuah kastil, tapi sebuah kota yang cukup besar. Panjang kelilingnya sampai 2 km, tingginya 25 m dan mempunyai 15 buah menara. Dinding benteng yang dibangun antara abad ke-13 dan ke-16, masih sangat utuh seperti awalnya.
Bersama banyak turis lain kami berjalan memasuki Pile Gate. Kami seakan terdampar mundur ke abad pertengahan. Di depan kami tampak membentang Stradun, jalan utama old city dan di sebelah kanan tampaklah Big Onofrio Fountain yang dibangun tahun 1348, yang tampak atraktif berupa hugh central dome dengan 16 buah pancuran di sekelilingnya. Anak tangga sekeliling fountain tampak menjadi tempat duduk para pengunjung yang kelelahan. Juga tampak Franciskan Monastery, pabrik farmasi tertua di Eropa yang sudah mulai beroperasi pada tahun 1391.
Dimana-mana terlihat gedung-gedung kuno yang tinggi-tinggi, dengan tembok batu kapur warna coklat keabuan, semua gedung seragam beratapkan genteng warna merah. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda modernisasi. Walaupun banyak rumah itu dijadikan toko atau restoran, tidak ada satu pun yang memasang papan nama atau spanduk.
Kami kemudian menapaki Stradun. City promenade yang panjangnya 292 m dan lebar 15 m ini sejak 1468 beralaskan batu marmer. Telapak kaki orang yang lalu lalang selama berabad-abad menjadikannya seolah digosok setiap hari. Hasilnya, kondisinya kini tampak licin berkilat. Di malam hari lantai itu memantulkan cahaya lampu, maka tampak menakjubkan - berkilau indah sekali.
Di ujung Stradun sampailah kami di Orlando Column, sebuah plaza yang menjadi tempat paling favorit bagi para turis untuk menikmati suasana kota. Tampak banyak orang duduk-duduk santai di kursi yang disediakan oleh kafe-kafe, maupun di tangga St. Blaise Church, gereja Katolik bergaya Baroque dan merupakan gereja dari Santo Blaise – Santo pelindung kota. Sekeliling plaza tampak berbagai bangunan kuno lainnya seperti Small Onofrio Fountain, Sponza Palace (Gothic Renaissance Palace, ini salah satu dari sedikit bangunan yang selamat dari gempa bumi dahsyat tahun 1667 ), Bell Tower, dan Rector Palace (dibangun tahun 1441 dan kini dijadikan museum). Benarlah kata walikota Dubrovnik bahwa kota ini bukanlah museum kota tapi kota yang sarat museum.
Merah, biru, dan hijau
Kini saatnya kami naik ke atas dinding benteng dan akan berjalan di sana mengelilingi kota kuno yang dibangun menjorok ke laut itu. Begitu sampai di atas dinding, kami langsung terpana melihat pemandangan ke arah luar benteng yang indahnya bukan main.
Kami rupanya berada di atas St. John Fort, dan di bawah kami tampak pelabuhan tua Dubrovnik. Di atas air laut yang membiru banyak perahu sedang berlabuh di muka berbagai gedung kuno yang memakai genteng merah, dengan dilatarbelakangi lereng kehijauan dari Mount Sergius. Mempesona sekali.
Kalau pandangan dialihkan ke dalam kota, tampak lautan genteng merah yang terlihat rapi sekali karena semua gedung di dalam kota tua seragam memakai genteng berwarna merah. Warna merah ini kontras dengan warna hijau dari lereng Mount Sergius di belakang kota dan langit yang berwarna biru cerah.
Sepanjang perjalanan menelusuri dinding benteng, kami disuguhi pemandangan yang sungguh luar biasa cantik. Baik ke arah laut yang terlihat begitu bersih membiru, maupun ke arah kota kuno yang begitu terjaga keasliannya, seperti sekian ratus tahun lalu. Sungguh menawan hati.
Saat tiba kembali ke hotel, persis sunset menjelang, kami semua berebut mencari tempat yang strategis di tepi pantai, untuk menyaksikan bola kemerahan yang makin meredup sinarnya perlahan-lahan masuk ke peraduan.
Ya, hari dan tahun boleh berganti, tapi tidak dengan Dubrovnik yang tetap abadi, setia dengan keaslian dan keindahannya. (Sindhiarta Mulya/Intisari Agustus 2007)
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR