Intisari-Online.com -Orang-orang mengenal Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Dwitunggal.
Tapi karena perbedaan padangan terkait negara yang begitu mendasar, keduanya terpaksa menjadi dwitanggal.
Intisari Online pernah menulis,Bung Karno dan Bung Hatta dipertemukan oleh perbedaan, dan dipisahkan juga oleh perbedaan.
Meminjam istilah Wawan Tunggul Alam, Bung Karno dan Bung Hatta itu ibarat dari Dwitunggal menjadi Dwitanggal.
Tidak hanya soal bentuk negara, Bung Karno dan Bung Hatta juga berbeda soal prinsip revolusi, prinsip ekonomi, dan yang lain-lain.
Meski demikian, Bung Karno dan Bung Hatta adalah karib hingga di ujung ajal.
Tahun 1955 Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilihan umum yang pertama sejak merdeka.
Bagi Bung Hatta pemilihan umum adalah instrumen paling demokratis untuk melakukan refreshing pemerintahan.
Dia beranggapan, dengan selesainya pemilihan umum maka pada tempatnya pejabat-pejabat negara diganti.
Namun perkembangan demokrasi di Indonesia tidak berjalan dengan lancar sesuai harapan.
Bung Hatta berbeda paham dengan Bung Karno.
Bung Karno semakin memperlihatkan perilaku yang melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dalam menyelenggarakan sistem kenegaraan. Berbagai masukan Bung Hatta, dari yang lunak sampai yang amat keras diabaikan begitu saja.
Pada sisi lain, sikap-sikap partai politik juga mengecewakan.
Mereka saling menyerang dan bertengkar secara tidak sehat.
Wakil partai yang duduk di pemerintahan tidak menunjukkan sebagai staatsman (negarawan) tetapi lebih memperlihatkan sebagai partijman (orang partai).
Mereka yang duduk di kursi kekuasaan mengambil sikap mementingkan politik dan aspirasi partai ketimbang memikirkan nasib bangsa dan negara.
Posisi wakil presiden nyaris sebagai simbol belaka karena kekuasaan presiden sedemikian besar.
Perbedaan pandangan dengan Bung Karno juga terjadi saat menyikapi revolusi.
Saat Bung Karno bersikukuh bahwa revolusi jalan terus, Bung Hatta berpikir sebaliknya.
Sudah saatnya bangsa Indonesia memikirkan nasib bangsa, nasib rakyat yang lama menderita akibat peperangan.
Perbedaan tidak bisa dipertemukan, akhirnya tanggal 1 Desember 1956 Bung Hatta secara resmi mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Dwitunggal berubah menjadi dwitanggal.
Ketika ditanya mau apa setelah mengundurkan diri, Bung Hatta menjawab ringan, "Saya mau terjun ke masyarakat, menjadi orang biasa."
Sebuah jawaban jernih dari sosok yang tidak haus kekuasaan.
Setelah menjadi orang biasa, langkah Bung Hatta sering kali mendapat kesulitan.
Bukunya yang berjudul Demokrasi Kita yang terbit pada tahun 1960 dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung.
Yang sudah telanjur beredar ditarik kembali oleh institusi tersebut.
Buku tersebut dianggap banyak mengkritik Bung Karno.
Bung Hatta melalui buku tersebut memberi ketegasan secara terang mengapa ia memilih mundur dari pemerintahan.
Dia ingin memberikan kesempatan kepada karibnya, Bung Karno untuk membuktikan sendiri benar-salahnya konsepsi yang dirumuskannya.
"...bagisaya yang lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan fair chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Sukarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi suatu sukses atau suatu kegagalan...," tulis Bung Hatta.
Pada tahun itu pula statusnya sebagai dosen di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dicabut.
Bung Hatta dilarang mengajar, ruang gerak beliau dibatasi.
Apakah perlakuan yang diterima oleh Bung Hatta resmi perintah presiden ataukah hanya tindakan para pembantu presiden yang over acting, tidak ada yang tahu persis.
Sebagai contoh, pada suatu ketika Bung Hatta melalui sekretaris pribadinya, Wangsa Widjaya, menyampaikan kepada Supeni (orang dekat Bung Karno dan staf di Deplu) bahwa beliau diundang menghadiri suatu konferensi internasional di Wina.
Tetapi Menteri Luar Negeri Subandrio memberitahu bahwa Presiden Soekarno tidak setuju kalau Bung Hatta menghadiri acara tersebut.
Supeni akhirnya menanyakan hal tersebut kepada Soekarno.
Presiden Sukarno menjawab, ia sama sekali tidak mendengar bahwa Bung Hatta diundang, apalagi melarangnya ke luar negeri.
Akhirnya tanpa halangan apa pun Bung Hatta hadir di acara tersebut.
Singkat cerita, setelah peralihan kekuasaan, Bung Karno menjadi tahanan politik Orde Baru.
Mendengar kabar bahwa sahabatnya harus menderita, Hatta kemudian menulis surat pada Suharto.
Dalam suratnya itu, ia mengkritik cara merawat Soekarno.
Di rumahnya, Hatta mengatakan pada istrinya, Rahmi, bahwa ia hendak bertemu dengan Soekarno.
Ia katakan keinginannya itu sembari terisak.
"Kakak tidak mungkin ke sana, Bung Karno sudah menjadi tahanan politik," ucap Rahmi, mengutip Djati Surendro dalam tulisannya "Hatta 'Jauh Tapi Dekat di Hati' Soekarno" diterbitkan oleh Majalah IntisariAgustus 2016.
Kemudian Hatta menoleh kepada istrinya itu dan berkata.
"Soekarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, sahabatku. Kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka," katanya.
"Bila memang ada perbedaan di antara kita itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Soekarno disakiti seperti ini."
Kemudian ia menulis surat pada Suharto agar ia dapat bertemu sahabatnya itu.
Suharto pun langsung menyetujui permintaan Hatta tersebut.
Ia diizinkan untuk menjenguk Soekarno di Wisma Yaso, Jakarta.
Pertemuan terakhir
Tanggal 20 Juni 1970 sore menjadi hari perpisahan keduanya.
Rumah Sakit Gatot Subroto, Jakarta menjadi saksi bisu peristiwa yang mengharukan itu.
Dengan hati-hati, Hatta menghampiri sahabat yang telah terbaring lemah itu.
Soekarno yang semalam koma pun tiba-tiba tersadar begitu Hatta datang.
"Hatta... kau di sini?" ujar Soekarno dengan lirih.
"Ya, bagaimana keadaanmu, No?" jawab Hatta.
Hati Hatta teriris melihat sahabatnya itu terbaring tak berdaya.
Dengan berusaha menyembunyikan kepedihannya, ia kemudian mengelus pelan tangan Soekarno.
"Hou gaat met jou?" lanjut Soekarno, masih dengan nada lirih.
Dalam bahasa Indonesia ucapan itu berarti bagaimana kabarmu.
Hatta yang mendengar ucapan itu pun tak kuasa menahan air matanya lagi.
Ucapan dalam bahasa Belanda itu telah mengingatkannya pada memori masa lalu.
Di mana keduanya masih bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Apalagi, ditambah dengan isakan Soekarno setelah ia mengucapkan pertanyaan itu.
Hatta yang dikenal kaku dan tak pandai memperlihatkan perasaannya itu akhirnya tak kuat lagi membendung air matanya.
Kedua sahabat itu saling berpegangan erat sambil bertukar air mata.
"No," hanya itu kata yang sanggup diucapkan oleh Hatta.
Kemudian, ia pasangkan kacamata pada sahabatnya itu.
Soekarno yang memintanya.
Agar ia dapat melihat sahabatnya dengan lebih jelas.
Keduanya pun saling menatap tanpa ada sepetah kata pun terluntar dari mulut mereka.
Saat itu, tidak ada lagi perbedaan politik di antara keduanya.
Hatta pun menyadari bahwa, waktu yang tersedia bagi sahabatnya itu sudah tidak lama lagi.
Keesokan harinya, Soekarno pun pergi untuk selama-lamanya.
Bahkan, hingga akhir hayatnya pun, Soekarno harus bertemu dengan sahabatnya, Hatta, terlebih dahulu.
Persahabatan yang patut dijadikan teladan bagi putra putri bangsa.
Dwitunggal telah selesai melaksanakan tugas sejarahnya.
Kedua sahabat itu akan senantiasa dikenang oleh bangsa ini.
Begitulah kisah pilu persahabatan Bung Karno dan Bung Hatta, dari Dwitunggal menjadi Dwitanggal.