Sejarah Perayaan Tahun Baru Masehi Menurut Pandangan Islam, Boleh Atau Tidak?

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Kalender Gregorian. Beginilah sejarah perayaan tahun baru Masehi menurut pandangan Islam.
Kalender Gregorian. Beginilah sejarah perayaan tahun baru Masehi menurut pandangan Islam.

Intisari-Online.com -Sejak kapan tahun baru Masehi dirayakan?

Lalu bagaimana sejarah perayaan tahun baru Masehi menurut pandangan Islam?

Mengutip KBBI, tahun Masehi merupakanperhitungan waktu yang dimulai sejak lahirnya Yesus Kristus.

Masehi dihitung sejak hari tersebut, sedangkan sebelum itu disebut juga sebagai Sebelum Masehi atau SM.

Biasanya, pergantian tahun Masehi yang berlangsung dari tanggal 31 Desember hingga 1 Januari dirayakan dengan pesta meriah.

Ada yang membuat resolusi, ada yang membuat harapan, ada yang biasa saja.

Mengutip Kompas.com, perayaan pergantian tahun atau tahun baru telah dilakukan oleh masyarakat Mesopotamia pada sekitar 2000 SM.

Mereka merayakan pergantian tahun saat matahari tepat berada di atas katulistiwa, yang sekarang bertepatan pada tanggal 20 Maret.

Perayaan tradisional seperti itu disebut Nowruz, yang sampai saat ini masih dilakukan di beberapa negara Timur Tengah.

Setelah itu, peradaban di seluruh dunia juga tercatat merayakan tahun baru yang didasari oleh berbeda peristiwa.

Misalnya di China, tahun baru ditandai ketika terjadi bulan baru kedua setelah titik balik matahari pada musim dingin.

Perayaan tahun baru pada 1 Januari pertama kali dilakukan pada 46 SM, pada masa kekuasaan Kaisar Romawi, Julius Caesar.

Ketika itu raja terbesar Romawi itu memutuskan mengganti penanggalan Romawi yang terdiri dari 10 bulan (304 hari), yang dibuat oleh Romulus pada abad ke-8.

Dalam mendesain kalender baru, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi asal Iskandariyah, Mesir.

Sosigenes menyarankan agar penanggalan baru dibuat berdasarkan revolusi matahari, seperti yang dilakukan orang Mesir kuno.

Setelah itu, 1 Januari resmi ditetapkan sebagai hari pertama tahun, di mana satu tahun terdiri atas 365 seperempat hari.

Nama Januari diambil dari nama dewa dalam mitologi Romawi, yaitu Dewa Janus, yang memiliki dua wajah yang menghadap ke depan dan ke belakang.

Masyarakat Romawi meyakini bahwa Dewa Janus adalah dewa permulaan sekaligus dewa penjaga pintu masuk.

Julius Caesar juga setuju untuk menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM, sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari.

Untuk menghormati Dewa Janus, maka orang-orang Romawi mengadakan perayaan setiap tanggal 31 Desember tengah malam untuk menyambut 1 Januari.

Selain itu, Julius Caesar memerintahkan setiap empat tahun sekali, satu hari ditambahkan pada bulan Februari.

Penanggalan ini kemudian dikenal dengan nama Kalender Julian, diambil dari nama Julius Caesar.

Ketika Kalender Julian pertama kali diterapkan, memang belum memasuki tahun Masehi.

Tahun Masehi baru dihitung sejak kelahiran Isa Al-Masih dari Nazaret, yang mulai diadopsi di Eropa Barat pada sekitar abad ke-8.

Dalam perkembangannya, Kalender Julian dimodifikasi sedemikian rupa menjadi Kalender Gregorian.

Kalender Gregorian yang dicetuskan oleh Dr. Aloysius Lilius disetujui oleh pemimpin tertinggi umat Katolik di Vatikan, Paus Gregory XIII pada 1582.

Sistem Kalender Gregorius inilah yang kemudian ditetapkan negara-negara di seluruh dunia.

Sejak saat itu, setiap tanggal 31 Desember malam dilakukan perayaan pergantian tahun yang semakin meriah di seluruh belahan dunia.

Namun, sebagian tokoh Muslim berpendapat, perayaan tahun baru Masehi menurut pandangan Islam tidak diperbolehkan.

Sementara dalam pandangan ulama lain, perayaan tahun baru bisa dirayakan dengan batas wajar dan sebagai tanda bersyukur kepada Tuhan.

Begitulah sejarah perayaan tahun baru Masehi menurut padangan Islam.

Artikel Terkait