Tradisi Makan Ronde, Perayaan Musim Dingin Tionghoa yang Berawal dari Dinasti Han

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Tradisi makan ronde atau dikenal dengan festivasl Dongzhi.
Ilustrasi - Tradisi makan ronde atau dikenal dengan festivasl Dongzhi.

Intisari-online.com - Festival Dongzhi atau Festival Titik Balik Matahari Musim Dingin adalah salah satu festival paling penting yang dirayakan masyarakat Tionghoa dan bangsa Asia Timur lainnya.

Atau lebih dikenal dengan tradisi makan ronde yang ada di Indonesia.

pada saat panjang hari paling pendek dalam setahun atau sekitar tanggal 22 Desember.

Festival ini memiliki sejarah yang panjang dan kaya akan makna filosofis dan budaya.

Awal mula festival ini dapat ditelusuri dari filosofi Yin dan Yang, keseimbangan dan keharmonisan kosmos.

Setelah titik balik matahari, panjang hari akan semakin memanjang sehingga semakin banyak energi positif yang mengalir masuk. Filosofi ini disimbolkan oleh fù dalam Ba Gua I-Ching.

Festival ini mulai dirayakan pada masa Dinasti Han (206 SM-220 M), dan berlanjut hingga Dinasti Tang (618-907) dan Song (960-1279).

Bangsa Han memperingati awal musim dingin ini sebagai Festival Musim Dingin, dengan berbagai perayaan yang meriah.

Kala itu, hari pertama musim dingin dijadikan hari libur nasional.

Pada masa dinasti Tang dan Song, perayaan awal musim dingin ini dilengkapi dengan upacara penghormatan bagi para Dewata dan leluhur.

Kaisar akan berdoa kepada para Dewata, sementara rakyat umumnya berdoa bagi arwah para leluhur.

Baca Juga: 5 Tradisi Natal di Indonesia, dari Meriam Bambu sampai Kabar Batu

Pada masa dinasti Qing (1644-1911) perayaan ini bahkan dianggap sama pentingnya/setara dengan perayaan musim semi (Imlek).

Salah satu tradisi yang paling populer dalam Festival Dongzhi adalah makan tangyuan atau ronde, sejenis kue berbentuk bola yang terbuat dari tepung ketan, terkadang diberi pewarna merah.

Tangyuan memiliki arti "keluarga yang utuh dan harmonis" karena bentuknya yang bulat dan padat.

Setiap anggota keluarga setidaknya menerima satu butir tangyuan berukuran besar dan beberapa berukuran kecil, disajikan bersama kuah manis yang terkadang dicampur arak atau bunga jiuniang.

Tangyuan yang telah direbus dalam air kemudian disajikan dengan kuah sup, yang dibuat dari air rebusan gula pasir, gula merah, daun pandan, dan jahe.

Tangyuan yang diberi isi manis disajikan dengan kuah jahe yang diberi sirup.

Tangyuan yang tidak diberi isi juga disajikan sebagai makanan penutup berupa sup manis.

Masyarakat Kanton mengenal makanan ini sebagai 'Tongsui' yang secara harafiah berarti "air gula" atau "sirup".

Makan tangyuan bersama keluarga merupakan simbol kebersamaan, kehangatan, dan kebahagiaan.

Selain itu, makan tangyuan juga dipercaya dapat meningkatkan kesehatan tubuh dan melindungi dari penyakit, terutama pada musim dingin.

Festival Dongzhi di Indonesia

Baca Juga: Tradisi Suku Kaili dengan Tarian Balia-nya, Ritual Penyembuhan dengan Menginjak Bara Api

Di Indonesia, Festival Dongzhi dikenal dengan hari wedang ronde yang merupakan tradisi masyarakat Tionghoa untuk menghormati titik balik matahari musim dingin.

Festival ini biasanya dirayakan dengan menyantap ronde berwarna putih dan merah muda yang dipadukan dengan kuah gula serta jahe.

Selain menikmati ronde, masyarakat Tionghoa juga melakukan sembahyang leluhur.

Festival Dongzhi di Indonesia juga menjadi ajang silaturahmi dan keakraban antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat lokal.

Banyak orang yang berbagi ronde dengan tetangga, saudara, atau teman.

Festival ini juga menjadi salah satu bentuk pelestarian budaya Tionghoa yang telah berakar di Indonesia.

Demikian artikel yang saya buat dengan judul Mengenal Festival Dongzhi, Perayaan Musim Dingin Tionghoa yang Berawal dari Dinasti Han.

Artikel Terkait