Intisari-online.com - Lembaga survei merupakan salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi, karena dapat mengukur opini, aspirasi, dan evaluasi publik terhadap berbagai isu politik, sosial, dan ekonomi.
Lantas, seperti apa sejarah lembaga survei di Indonesia yang mengalami perjalanan dari masa ke masa.
Di masa Orde Baru, lembaga survei mengalami masa-masa sulit, karena sering dianggap sebagai ancaman oleh rezim Soeharto yang otoriter dan represif.
Salah satu lembaga survei yang paling terkenal dan berpengaruh di era Orde Baru adalah Centre for Strategic and International Studies (CSIS), yang didirikan pada tahun 1971 oleh sekelompok intelektual muda, seperti Jusuf Wanandi, Harsja Bachtiar, Sofian Effendi, dan lainnya.
CSIS merupakan lembaga survei yang independen, profesional, dan kritis, yang melakukan berbagai riset dan analisis mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan nasional dan internasional.
CSIS juga dikenal sebagai lembaga yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintah Orde Baru, terutama dengan Menteri Sekretaris Negara Sudharmono, yang merupakan sahabat karib Jusuf Wanandi.
CSIS sering memberikan masukan dan saran kepada pemerintah, serta menjadi tempat berkumpulnya para tokoh politik, birokrat, militer, dan akademisi.
Namun, hubungan harmonis antara CSIS dan pemerintah Orde Baru mulai retak pada tahun 1988, ketika CSIS melakukan survei opini publik mengenai calon presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 1988.
Survei ini menunjukkan bahwa popularitas Soeharto mulai menurun, dan ada sebagian masyarakat yang menginginkan perubahan kepemimpinan.
Survei ini juga menunjukkan bahwa ada beberapa tokoh alternatif yang dianggap layak menjadi presiden atau wakil presiden, seperti B.J. Habibie, Try Sutrisno, Sudomo, dan Emil Salim.
Survei CSIS ini menimbulkan reaksi keras dari pihak-pihak yang pro-Soeharto, terutama dari kelompok Islam dan militer.
Baca Juga: Sejarah Hari Ibu Nasional Tanggal 22 Desember: Ini Sosok Yang Menetapkannya
Mereka menuduh CSIS sebagai lembaga yang berusaha menggoyang stabilitas politik dan mengganggu rencana pengangkatan Soeharto sebagai presiden untuk periode kelima.
Mereka juga menuding CSIS sebagai lembaga yang berafiliasi dengan kepentingan asing, terutama Amerika Serikat, yang ingin mengintervensi urusan dalam negeri Indonesia.
Akibat tekanan dan intimidasi yang semakin meningkat, CSIS akhirnya ditutup oleh pemerintah pada tanggal 29 September 1989, dengan alasan melanggar ketentuan hukum tentang yayasan.
Penutupan CSIS ini merupakan pukulan besar bagi perkembangan lembaga survei di Indonesia, karena CSIS dianggap sebagai lembaga yang paling kredibel, profesional, dan berwawasan luas.
Selain CSIS, ada juga lembaga survei lain yang mengalami nasib serupa, yaitu Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), yang didirikan pada tahun 1971 oleh sejumlah tokoh seperti Mubyarto, Emil Salim, dan Syahrir.
LP3ES merupakan lembaga yang bergerak di bidang penelitian dan penerbitan buku-buku tentang ekonomi, sosial, dan pembangunan.
LP3ES juga menjadi sasaran kritik dan serangan dari pihak-pihak yang tidak menyukai sikap kritis dan independen LP3ES, terutama dalam hal menyoroti masalah-masalah seperti kemiskinan, ketimpangan, korupsi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup.
LP3ES juga dituduh sebagai lembaga yang mendapat dukungan dari luar negeri, terutama dari Ford Foundation, yang dianggap sebagai alat Amerika Serikat untuk mengintervensi Indonesia.
Pada tahun 1990, LP3ES ditutup oleh pemerintah dengan alasan yang sama dengan CSIS, yaitu melanggar ketentuan hukum tentang yayasan.
Penutupan LP3ES ini juga menimbulkan keprihatinan dan kecaman dari berbagai pihak, terutama dari kalangan akademisi, aktivis, dan penulis, yang menganggap LP3ES sebagai lembaga yang memberikan kontribusi besar bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran di Indonesia.
Setelah CSIS dan LP3ES ditutup, lembaga survei di Indonesia mengalami masa stagnasi dan kesulitan, karena harus berhadapan dengan berbagai hambatan dan tantangan, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat.
Baca Juga: Masuk Era Modern, Jelaskan Kondisi Umat Islam Pada Tahun 1800 Di Indonesia
Beberapa lembaga survei yang masih bertahan di era Orde Baru antara lain adalah Lembaga Survei Nasional (LSN), Lembaga Survei Kebijakan Publik (LSKP), dan Lembaga Survei Konsultan Citra Indonesia (KCI).
Namun, setelah terjadi reformasi pada tahun 1998, lembaga survei di Indonesia mulai mengalami perkembangan yang pesat dan dinamis, seiring dengan semakin terbukanya ruang demokrasi dan partisipasi publik.
Beberapa lembaga survei baru bermunculan, seperti Lembaga Survei Indonesia (LSI), Indikator Politik Indonesia (Indikator), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Charta Politika, dan lainnya.
Lembaga survei baru ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan lembaga survei lama, terutama dalam hal metodologi, teknologi, dan orientasi.
Lembaga survei baru lebih banyak menggunakan metode survei opini publik dengan sampel acak dan representatif, serta menggunakan teknologi komputer dan telepon seluler untuk mengumpulkan dan menganalisis data.
Lembaga survei baru juga lebih banyak berorientasi pada kepentingan publik, terutama dalam hal menyediakan informasi dan data yang akurat, obyektif, dan transparan mengenai berbagai isu politik, sosial, dan ekonomi yang relevan dengan kehidupan masyarakat.
Salah satu lembaga survei baru yang cukup menonjol dan berpengaruh adalah Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang didirikan pada tahun 2003 oleh Yayasan Pengembangan Demokrasi Indonesia (YPDI).
LSI merupakan lembaga survei yang independen, non-partisan, dan nirlaba, yang menyediakan jasa riset bagi berbagai kalangan yang berkepentingan dengan opini publik, terutama yang terkait dengan kontestasi politik seperti pemilihan umum nasional maupun daerah dan pembuatan kebijakan publik yang responsif terhadap aspirasi masyarakat.
LSI juga dikenal sebagai lembaga survei yang memiliki kualitas dan kredibilitas yang tinggi, karena bekerja atas dasar prinsip-prinsip akademik dan analisis statistik yang relevan, serta bersandar pada kode etik survei opini publik yang ditetapkan oleh International Association of Public Opinion Research (IAPOR).
LSI juga memiliki jejaring kerjasama dengan berbagai lembaga akademik, media, dan organisasi masyarakat sipil, baik di dalam maupun di luar negeri.
LSI dipimpin oleh Djayadi Hanan sebagai Direktur Eksekutif, yang merupakan seorang akademisi dan peneliti yang ahli di bidang politik, pemilu, dan demokrasi.
Baca Juga: Sejarah Singkat Hari Ibu 22 Desember, Berawal dari Kongres Perempuan
Selain itu, LSI juga memiliki sejumlah peneliti dan analis yang kompeten dan profesional, seperti Rully Akbar, Ardian Sopa, Burhanuddin Muhtadi, Dodi Ambardi, dan lainnya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sejarah lembaga survei di Indonesia telah mengalami perjalanan yang panjang dan berliku, dari masa Orde Baru hingga masa.