Intisari-online.com - Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat berbahaya, yang mengacu pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai resiko kecanduan bagi penggunanya.
Narkoba juga bisa disebut sebagai napza, yang merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif.
Narkoba memiliki sejarah panjang di Indonesia, yang dimulai sejak zaman kolonial Belanda hingga masa reformasi.
Pada zaman penjajahan Belanda, Indonesia sudah mengenal penggunaan obat-obatan jenis opium, yang berasal dari tanaman papaver somniferum.
Opium adalah bahan baku dari heroin, yang merupakan salah satu jenis narkoba paling berbahaya.
Pada umumnya, para pemakai opium adalah orang-orang Cina, yang menghisapnya melalui pipa panjang.
Pemerintah Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap opium dan pengadaan secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang.
Hal ini bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari pajak opium dan juga untuk mengendalikan penduduk pribumi yang dianggap bermasalah.
Selain opium, Indonesia juga mengenal tanaman ganja, yang berasal dari cannabis sativa.
Ganja banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera lainnya, dan telah sejak lama digunakan oleh penduduk sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari.
Ganja memiliki efek psikoaktif yang dapat mempengaruhi kesadaran, suasana hati, dan persepsi penggunanya.
Ganja juga bisa digunakan untuk tujuan medis, seperti mengurangi rasa sakit, mual, dan kejang.
Tanaman lain yang berkaitan dengan narkoba adalah erythroxylon coca, yang merupakan bahan baku dari kokain.
Tanaman ini banyak tumbuh di Jawa Timur dan pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi ekspor.
Kokain adalah stimulan yang dapat meningkatkan aktivitas otak, energi, dan kepercayaan diri penggunanya.
Namun, kokain juga dapat menyebabkan ketergantungan, kerusakan otak, jantung, dan pembuluh darah.
Untuk mengatur dan menindak penyalahgunaan narkoba, Pemerintah Belanda membuat undang-undang yang dikenal sebagai Verdovende Middelen Ordonantie, yang mulai diberlakukan pada tahun 1927.
Undang-undang ini mengatur tentang produksi, distribusi, dan pemakaian narkoba, serta hukuman bagi pelanggarnya.
Namun, undang-undang ini tidak mencakup obat-obatan sintetis dan beberapa obat lain yang mempunyai efek serupa dengan narkoba.
Pada tahun 1942, Indonesia diduduki oleh Jepang, yang menggantikan Belanda sebagai penjajah. Pemerintah Jepang menghapuskan undang-undang Belanda tentang narkoba dan melarang pemakaian opium.
Hal ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh Belanda dan juga untuk menghemat sumber daya yang dibutuhkan untuk perang.
Namun, larangan ini tidak efektif, karena banyak orang yang masih mengkonsumsi opium secara diam-diam atau beralih ke obat-obatan lain yang lebih mudah didapat, seperti morfin, kodein, dan pil tidur.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, pemerintah mengambil alih kebijakan tentang narkoba dari Belanda.
Pada tahun 1949, pemerintah mengeluarkan undang-undang yang dikenal sebagai Dangerous Drugs Ordinance, yang memberikan wewenang kepada Menteri Kesehatan untuk mengatur penggunaan dan distribusi obat-obatan berbahaya.
Undang-undang ini masih mengakui adanya opium legal, yang diperuntukkan bagi pengguna medis dan tradisional.
Namun, undang-undang ini juga tidak mencakup obat-obatan sintetis dan psikotropika, yang mulai masuk ke Indonesia sejak tahun 1960-an.
Pada tahun 1960-an, narkoba sedikit demi sedikit mulai masuk dalam pasar Indonesia, karena letak geografis negara kita yang berada di antara dua benua, yaitu Asia dan Australia.
Persilangan dua benua ini merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang ramai dan potensial.
Narkoba yang masuk ke Indonesia berasal dari berbagai negara, seperti India, Pakistan, Thailand, Myanmar, dan Cina.
Jenis narkoba yang populer pada waktu itu adalah heroin, LSD, amfetamin, dan barbiturat.
Pada tahun 1970-an, masalah narkoba menjadi semakin besar dan nasional, karena dipengaruhi oleh perang Vietnam yang sedang berlangsung.
Banyak tentara Amerika Serikat yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba, terutama heroin, yang kemudian menyebar ke negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Banyak anak muda Indonesia yang terjerumus dalam penggunaan narkoba, baik karena penasaran, ikut-ikutan, atau mencari pelarian dari masalah.
Baca Juga: Kesal Polisi Tak Cepat Bergerak, Emak-emak Di Jambi Gerebek Sendiri Markas Narkoba Yang Meresahkan
Narkoba juga menjadi alat bagi kelompok-kelompok subversif untuk mengganggu stabilitas dan keamanan negara.
Menyadari bahaya narkoba, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No.6 tahun 1971, yang membentuk badan koordinasi yang terkenal dengan nama BAKOLAK INPRES 6/71.
Badan ini bertugas untuk mengkoordinasikan antar departemen semua kegiatan penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara, termasuk narkoba.
BAKOLAK INPRES 6/71 melakukan berbagai upaya, seperti penegakan hukum, penyuluhan, rehabilitasi, dan kerjasama internasional, untuk menangani masalah narkoba.
Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan undang-undang narkoba warisan Belanda sudah tidak memadai lagi.
Maka pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No.9 tahun 1976, tentang Narkotika.
Undang-undang ini mengatur tentang jenis-jenis narkotika, baik alamiah maupun sintetis, serta hukuman bagi produsen, pengedar, dan pemakai narkotika.
Undang-undang ini juga menghapuskan adanya opium legal dan melarang penggunaan ganja untuk tujuan apapun.
Pada tahun 1998, Indonesia mengalami krisis ekonomi, politik, dan sosial, yang berujung pada jatuhnya rezim Orde Baru dan dimulainya era reformasi.
Pada masa ini, Indonesia menghadapi tantangan baru dalam bidang narkoba, yaitu masuknya narkoba jenis baru, seperti ekstasi, sabu-sabu, dan tembakau gorila.
Narkoba jenis baru ini memiliki daya tarik yang tinggi bagi kalangan muda, karena dianggap sebagai bagian dari gaya hidup, hiburan, dan prestasi.
Narkoba jenis baru ini juga memiliki efek yang lebih kuat dan berbahaya, seperti halusinasi, psikosis, dan kematian.
Untuk mengatasi masalah narkoba yang semakin kompleks dan serius, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.22 tahun 1997, tentang Narkotika, yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No.35 tahun 2009.
Undang-undang ini mengatur tentang jenis-jenis narkotika, baik alamiah, sintetis, maupun semi sintetis, serta hukuman bagi produsen, pengedar, dan pemakai narkotika.
Undang-undang ini juga memberikan kewenangan kepada Badan Narkotika Nasional (BNN), yang merupakan lembaga non departemen yang bertanggung jawab atas penanggulangan narkoba di Indonesia.