Intisari-online.com -Pasola adalah salah satu tradisi kuno yang masih dijalankan hingga saat ini oleh masyarakat Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola" yang berarti lembing kayu yang digunakan untuk saling melempar antara dua kelompok berkuda.
Pasola merupakan bagian dari serangkaian upacara adat yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu.
Pasola digelar setiap tahun pada bulan Februari hingga Maret di empat kampung di Sumba Barat, yaitu Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura.
Tujuan dari pasola adalah untuk memohon kesuburan tanah dan laut, kemakmuran, dan hasil panen yang melimpah.
Pasola juga merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur dan dewa Brahma.
Pasola diyakini dapat menyeimbangkan alam dan manusia, serta menghindarkan bencana dan penyakit.
Pasola juga menjadi ajang untuk menunjukkan keberanian, keterampilan, dan kehormatan para ksatria berkuda.
Pasola tidak bisa dilakukan sembarangan, melainkan harus menunggu tanda-tanda alam yang ditafsirkan oleh para pemuka adat atau rato.
Salah satu tanda alam yang paling penting adalah munculnya cacing laut yang disebut nyale.
Nyale adalah cacing berwarna-warni yang keluar ke pinggir pantai pada saat bulan purnama.
Nyale dipercaya sebagai perwujudan dari roh leluhur yang memberikan berkah kepada manusia.
Nyale juga dapat memprediksi hasil panen, jika nyale banyak dan sehat maka panen akan baik, jika nyale sedikit dan sakit maka panen akan buruk.
Sebelum pasola dimulai, para rato akan mengadakan upacara nyale di pantai.
Upacara nyale dilakukan dengan mencari dan menangkap nyale yang keluar dari laut.
Nyale kemudian dibawa ke tempat suci dan dipersembahkan kepada leluhur dan dewa.
Setelah itu, rato akan menentukan tanggal dan tempat pelaksanaan pasola berdasarkan jumlah, warna, dan bentuk nyale.
Jika nyale tidak muncul, maka pasola tidak dapat dilakukan dan dianggap sebagai pertanda buruk.
Pasola dilakukan di lapangan terbuka yang luas dan datar.
Pasola melibatkan dua kelompok yang berlawanan, biasanya berdasarkan wilayah atau klan.
Setiap kelompok terdiri dari puluhan ksatria berkuda yang membawa lembing kayu.
Lembing kayu yang digunakan untuk pasola memiliki ujung yang tumpul dan dibalut dengan kain putih. Lembing kayu ini disebut aipahola atau aihola.
Baca Juga: Misteri dan Keajaiban di Balik Tradisi Tiwah di Kalimantan Tengah
Pasola dimulai dengan upacara pembukaan yang dipimpin oleh rato.
Rato akan membacakan doa dan mantra, serta memberikan berkat kepada para peserta pasola.
Setelah itu, rato akan melemparkan lembing kayu pertama ke arah lawan sebagai tanda dimulainya pasola.
Kemudian, para ksatria berkuda akan memacu kuda mereka dan saling melempar lembing kayu ke arah lawan.
Pasola berlangsung dengan penuh semangat dan adrenalin, namun tetap mengikuti aturan dan etika yang berlaku.
Salah satu aturan pasola adalah tidak boleh menyerang lawan yang tidak bersenjata, tidak berkuda, atau sedang jatuh.
Jika ada yang melanggar aturan ini, maka ia akan dihukum oleh rato atau oleh kelompoknya sendiri.
Selain itu, pasola juga tidak boleh dilakukan dengan niat balas dendam, melainkan dengan rasa hormat dan sportif.
Pasola juga tidak boleh diintervensi oleh pihak luar, termasuk pemerintah atau wisatawan.
Pasola biasanya berlangsung selama beberapa jam, tergantung dari kondisi lapangan dan peserta.
Pasola akan berakhir jika rato mengangkat tangan dan meniup terompet sebagai tanda berhenti.
Baca Juga: Inilah Fungsi Pancasila Dalam Hubungannya Dengan Pengaruh Budaya Asing Dan Iptek
Setelah itu, rato akan menghitung jumlah lembing kayu yang jatuh di lapangan dan menentukan pemenang pasola.
Pemenang pasola adalah kelompok yang memiliki lembing kayu lebih banyak di lapangan. Namun, kemenangan pasola tidak terlalu penting, yang lebih penting adalah proses dan makna pasola itu sendiri.
Salah satu makna pasola adalah pertumpahan darah. Pertumpahan darah dianggap sebagai persembahan kepada leluhur dan dewa, serta sebagai pupuk bagi tanah dan laut.
Pertumpahan darah juga dianggap sebagai simbol persaudaraan dan perdamaian antara dua kelompok yang bertarung.
Oleh karena itu, pasola tidak boleh menimbulkan dendam atau permusuhan, melainkan harus diakhiri dengan saling memaafkan dan bersatu.
Pasola adalah tradisi kuno yang masih dilestarikan hingga saat ini oleh masyarakat Sumba.
Pasola merupakan warisan budaya yang kaya akan nilai-nilai luhur, seperti keberanian, keterampilan, kehormatan, kesuburan, kemakmuran, dan perdamaian.
Pasola juga merupakan atraksi budaya yang menarik dan unik, yang mampu menarik perhatian wisatawan dari dalam dan luar negeri.
Pasola adalah salah satu bukti kekayaan dan keanekaragaman budaya Indonesia yang patut dibanggakan dan dijaga.