Ia juga bersimpati dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan berusaha mengakomodasi mereka dalam kabinet.
Juga mulai mengembangkan konsep Demokrasi Terpimpin, yang menempatkan dirinya sebagai pemimpin tunggal tanpa perlu mengikuti konstitusi.
Perbedaan pandangan antara Hatta dan Soekarno semakin tajam setelah terbentuknya Parlemen dan Konstituante hasil pemilihan umum tahun 1955.
Hatta berpendapat bahwa dengan adanya lembaga-lembaga tersebut, maka Presiden dan Wakil Presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara yang simbolis, sedangkan kekuasaan eksekutif berada di tangan perdana menteri dan kabinet yang bertanggung jawab kepada Parlemen.
Oleh karena itu, Hatta merasa tidak perlu lagi menjabat sebagai Wakil Presiden, karena ia tidak ingin menjadi boneka atau hiasan belaka.
Hatta pertama kali menyampaikan keinginan untuk mengundurkan diri pada tahun 1955, tetapi suratnya tidak ditanggapi oleh DPR.
Ia kemudian mengirimkan surat lagi pada tahun 1956, dan kali ini ia bersikeras untuk mundur.
Ia mengatakan bahwa ia sudah tidak bisa bekerja sama dengan Soekarno, karena ia merasa tidak dihargai dan tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan penting.
Beliau juga mengkritik kebijakan-kebijakan Soekarno yang dianggapnya bertentangan dengan konstitusi, seperti mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan mengembalikan UUD 1945.
Dampak Pengunduran Diri Hatta
Pengunduran diri Hatta sebagai Wakil Presiden menimbulkan dampak yang besar bagi Indonesia. Dampak tersebut antara lain adalah:
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR