Intisari-Online.com -Terkait agresi Israel ke Gaza belakangan ini tentu membuat kita bertanya-tanya.
"Apakah seluruh warga Israel mendukung langkah pemerintah dan tentaranya membumihanguskan Palestina?"
Jika mengacu pada sebuah jajak pendapat yang dilakukan pada 2016, jawabannya tidak.
Justru sebaliknya, menurut jajak pendapat itu, lebih dari separuh warga Israel menghendaki kemerdekan Palestina.
Pun begitu dengan warga Palestinaaa.
Ketika itu, Tamar Hermann, seorang pakar ilmu politik Israel, menggelar jajak pendapat bersama Khalil Shikaki yang berasal dari sebuah lembaga riset Palestina.
"Melihat situasi saat ini maka hasil survei ini sebenarnya tak terlalu bagus tetapi juga tak terlalu buruk," ujar Tamar, dilansir Kompas.com pada Agustus 2016 lalu.
"Setidaknya ada optimisme dengan kepemimpinan yang tepat."
Tamar melanjutkan:
"Saat ini saya tak melihat ada pemimpin di kedua pihak yang mampu menggunakan hasil survei ini sebagai dasar untuk mengintensifkan negosiasi."
Menurut survei itu, 51 persen warga Palestina dan 59 persen warga Israel mendukung solusi dua negara untuk mengakhiri konflik kedua negara itu.
Sebanyak 53 persen warga Israel mendukung kemerdekaan Palestina dan tentu saja jumlah ini jauh lebih besar di kalangan warga Palestina yaitu 87 persen.
Di sisi lain, hanya sedikit rakyat kedua negara yang mendukung berdirinya satu negara yang dihuni bersama dengan hak dan kewajiban yang sama.
Setelah dua dekade kegagalan upaya untuk mengakhiri konflik, survei itu menunjukkan 89 persen warga Palestina menganggap Israel tak bisa dipercaya dan 68 persen warga Israel merasakan hal yang sama terhadap Palestina.
Tak hanya itu, sebanyak 65 persen warga Israel merasa takut terhadap orang Palestina.
Uniknya, hanya 45 persen warga Palestina yang takut menghadapi orang Israel.
Tamar mengaku terkejut dengan banyaknya warga Israel yang takut terhadap warga Palestina.
Agaknya hal ini disebabkan karena warga Israel jarang berinteraksi dengan warga Palestina sehingga rasa takut amat mudah muncul.
Sebagai informasi, jajak pendapat ini mewawancarai 1.270 warga Palestina dan 1.184 warga Israel dan digelar pada Juni lalu dengan margin error sebanyak tiga persen.
Survey ini digelar sebagai kerja sama Institut Demokrasi Israel dan Pusat Riset untuk Kebijakan dan Survei Palestina.
Sejarah hubungan Palestina-Israel
Kita tahu, belakangan ini, hubungan Palestina dan Israel benar-benar memburuk.
Awalnya militanHamas melancarkan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel pada 7 Oktober.
Serangan itu diikuti denganratusan pasukan bersenjata menyusup ke lingkungan warga sipil yang tinggal di dekat Jalur Gaza.
Dalam serangan itu, 1.400 warga Israel meninggal dunia.
Menurut keterangan militer Israel,ada203 tentara dan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, dibawa ke Gaza sebagai sandera.
Israel pun membalas.
Lebih dari 5.000 warga Palestina di Gaza tewas terbunuh akibat serangan udara dan artileri yang dilakukan Israel.
Kita tahu, konflik Palestina-Israel sudah berlangsung sangat lama.
Dalam catatan sejarah, wilayah di mana dua negara itu berada telah dilanda serangkaian konflik bersenjata.
Termasuk beberapa perang yang menentukan dinamika hubungan Israel-Palestina.
Konflik berawal ketikaInggris menguasai wilayah yang dikenal sebagai Palestina setelah mengalahkan Kesultanan Ottoman, yang menguasai wilayah Timur Tengah dalam Perang Dunia Pertama.
Wilayah itu dihuni oleh minoritas Yahudi dan mayoritas Arab, serta kelompok etnis lainnya yang jumlahnya lebih sedikit.
Tapi ketegangan antara kedua etnis yang tinggal di wilayah itu meningkat sehingga komunitas internasional memberi tugas kepada Inggris untuk mendirikan “rumah nasional” bagi orang Yahudi di Palestina.
Keputusan ini merujuk pada Deklarasi Balfour yang ditandatangani pada 1917, sebuah kesepakatan antara Menteri Luar Negeri Inggris yang menjabat saat itu, Arthur Balfour, kepada komunitas Yahudi di Inggris.
Deklarasi ini diabadikan dalam mandat Inggris atas Palestina dan didukung oleh Liga Bangsa-Bangsa--organisasi cikal bakal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)--yang baru dibentuk pada 1922.
Bagi orang-orang Yahudi, Palestina adalah rumah bagi leluhur mereka, namun komunitas Arab di Palestina juga mengeklaim wilayah tersebut dan menentang klaim sepihak komunitas Yahudi di sana.
Antara 1920-an hingga 1940-an, jumlah orang Yahudi yang tiba di Palestina terus bertambah.
Banyak dari mereka melarikan diri dari persekusi yang mereka alami di Eropa, khususnya Holokos yang dilakukan Nazi di Jerman dan sekitarnya pada Perang Dunia Kedua.
Pertikaian antara komunitas Yahudi dan Arab, serta pemerintahan Inggris, juga meningkat.
Pada 1947, PBB melakukan pemungutan suara dan memutuskan membagi Palestina menjadi negara Yahudi dan Arab, dan Yerusalem menjadi kota internasional.
Rencana ini diterima oleh para pemimpin Yahudi, namun ditolak oleh pemimpin Arab dan tak pernah diimplementasikan.
Pada 1948, lantaran tak mampu menyelesaikan pertikaian antara komunitas Yahudi dan Arab di Palestina, Inggris menarik diri dan para pemimpin Yahudi mendeklarasikan pembentukan negara Israel.
Wilayah itu dimaksudkan sebagai tempat aman bagi komunitas Yahudi yang mengalami persekusi, juga sebagai kampung halaman bagi mereka.
Pertempuran antara Yahudi dan milisi Arab semakin intens selama berbulan-bulan.
Sehari setelah Israel mendeklarasikan diri sebagai negara, lima negara Arab menyerang wilayah itu.
Ratusan warga Palestina melarikan diri atau terpaksa meninggalkan rumah mereka dalam apa yang mereka sebut sebagai Al Nakba, atau “bencana”.
Pada saat pertempuran berakhir dengan gencatan senjata pada tahun berikutnya, Israel menguasai sebagian besar wilayah tersebut.
Yordania menduduki wilayah yang kemudian dikenal sebagai Tepi Barat, dan Mesir menduduki Gaza.
Sementara wilayah Yerusalem terbagi untuk pasukan Israel di barat dan pasukan Yordania di timur.
Sebab tak pernah ada perjanjian perdamaian, peran dan pertempuran terus terjadi pada dekade-dekade berikutnya.
Lalu pada1967, Israel menduduki Yerusalem Timur dan Tepi Barat, serta sebagian Dataran Tinggi Golan di Suriah, Gaza, dan semenanjung Sinai.
Sebagian besar pengungsi Palestina dan keturunan mereka tinggal di Gaza dan Tepi Barat, serta di sejumlah negara seperti Yordania, Suriah, dan Lebanon.
Baik mereka maupun keturunan mereka tak diizinkan oleh Israel untuk kembali ke kampung halaman mereka, dengan mengatakan itu akan membuat Israel kewalahan dan mengancam keberadaannya sebagai negara Yahudi.
Israel masih menduduki Tepi Barat dan mengeklaim seluruh Yerusalem sebagai ibu kotanya, sementara Palestina mengeklaim Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina pada masa mendatang.
AS adalah satu dari segelintir negara yang mengakui kota ini sebagai ibu kota Israel.
Selama 50 tahun terakhir Israel telah membangun permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, yang dihuni lebih dari 700.000 orang Yahudi.
Permukiman ini dianggap ilegal berdasar hukum internasional--seperti yang dinyatakan oleh Dewan Keamanan PBB dan pemerintah Inggris--meskipun Israel menolak klaim ini.
Perundingan perdamaian antara Israel dan Palestina telah dilakukan berulang kali antara 1990-an hingga 2000-an, diselingi dengan pecahnya pertikaian.
Perdamaian yang dinegosiasikan tampaknya mungkin terjadi pada masa-masa awal.
Sejumlah pembicaraan rahasia di Norwegia menjadi proses perdamaian Oslo, yang dilambangkan dengan upacara di halaman Gedung Putih pada 1993 yang dipimpin oleh Presiden AS Bill Clinton.
Dalam momen bersejarah, Palestina mengakui negara Israel dan Israel mengakui musuh bebuyutannya, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), sebagai satu-satunya wakil rakyat di Palestina. Otoritas Palestina yang memiliki pemerintah sendiri kemudian dibentuk.
Namun, perpecahan segera muncul ketika pemimpin oposisi Israel saat itu, Benjamin Netanyahu, menyebut proses perdamaian Oslo sebagai ancaman bagi Israel.
Israel mempercepat proyek permukiman komunitas Yahudi di wilayah yang mereka duduki di Palestina.
Kelompok Palestina, Hamas, yang baru saja muncul saat itu, mengirim pelaku bom bunuh diri.
Suasana di Israel memburuk, dengan puncaknya pada momen pembunuhan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin oleh seorang ekstrimis Yahudi pada 4 November 1995.
Pada 2000-an, upaya dilakukan untuk menghidupkan kembali proses perdamaian--termasuk pada 2003 ketika peta jalan dirancang oleh negara-negara besar dangan tujuan akhir solusi dua negara, namun hal ini tak pernah terlaksana.
Upaya perdamaian akhirnya terhenti pada 2014, ketika perundingan antara Israel dan Palestina di Washington, AS, gagal.
Rencana perdamaian terbaru--yang disiapkan oleh AS ketika Donald Trump masih menjabat sebagai presiden--disebut sebagai “kesepakatan abad ini” oleh Perdana Menteri Netanyahu, namun ditolak oleh Palestina karena hanya sepihak dan tidak pernah dilaksanakan.
Dan hingga sekarang, titik temu itu tak kunjung ditemukan.