Masyarakat Kota Semarang punya cara unik dalam menyambut Ramadhan, mereka punya tradisi dugderan yang sudah ada sejak abad 19.
Intisari-Online.com -Masyarakat di tiap-tiap daerah di Indonesia punya caranya sendiri menyambut Ramadhan.
Salah satunya adalah masyarakat di Kota Semarang di mana mereka punya tradisi Dugderan.
Apa makna tradisi Dugderan?
Tradisi Dugderan merupakan tradisi turun temurun yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Dugderan bukan sekadar perayaan semata, namun sarat makna dan sejarah.
Asal mula tradisi dugderan diperkirakan pada masa kepemimpinan Bupati Kyai Raden Mas Tumenggung Purbaningrat atau Bupati Purbaningrat pada 1881, seperti dikutip dari situs Center Of Excellence (CoE) Budaya Jawa, perpustakaan dan informasi tentang budaya lokal Jawa Tengah (14/12/2016).
Latar belakang acara ini adalah perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai awal bulan suci Ramadhan.
Saat itu Indonesia masih berada pada zaman kolonial Belanda, sehingga masyarakat Kota Semarang terbagi menjadi empat golongan, yaitu pecinan (etnis Tionghoa), pakojan (etnis Arab), kampung Melayu (warga perantauan dari luar Jawa), dan orang Jawa asli.
Oleh sebab itu, pemerintahan Bupati Purbaningrat menetapkan, untuk menyamakan persepsi penentuan awal Ramadhan dilakukan dengan menabuh bedug di Masjid Agung Kauman serta menyalakan meriam di halaman kabupaten.
Baik bedug dan meriam dibunyikan masing-masing tiga kali, kemudian dilanjutkan dengan pengumuman awal bulan Ramadhan di masjid.
Ketika itu perayaan dugderan berpusat di Masjid Agung Semarang atau Masjid Besar Semarang (kini Masjid Kauman) yang berada di dekat Pasar Johar.
Makna dan tujuan dugderan
Berdasarkan informasi dari situs Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kota Semarang (24/02/2020), nama dugderan diambil dari suara bedug yang berbunyi ‘dug dug dug’ dan suara meriam yakni ‘der der der’.
Seperti disampaikan sebelumnya, bedug dan meriam tersebut dibunyikan masing-masing tiga kali, sebagai penanda awal bulan Ramadhan.
Tujuan dari penyelenggaraan dugderan adalah melebur perbedaan yang terjadi antarwarga Kota Semarang pada zaman kolonial.
Secara khusus, Bupati Purbaningrat ingin menyamakan persepsi masyarakat dalam menentukan awal bulan Ramadan.
Hingga saat ini, tradisi dugderan masih menjadi alat pemersatu antarwarga Semarang.
Banyak warga turun ke jalan pada saat perayaan untuk berbaur, tegur sapa, dan saling menghormati sesama tanpa memandang perbedaan.
Warak ngendhog
Salah satu ikon dalam acara dugderan adalah warak ngendhog.
Mengutip situs situs Perpustakaan dan Informasi Tentang Budaya Lokal Jawa Tengah (14/12/2016), warak ngendog adalah mainan anak-anak yang dulu sangat populer di Kota Semarang dan sekitarnya.
Bentuk fisik warak ngendog mewakili suku-suku yang hidup di Kota Semarang, meliputi Jawa, Tionghoa, dan Arab.
Unsur suku Jawa diwakili oleh postur warak yang menyerupai kambing.
Sementara, unsur etnis Tionghoa yakni kepala warak yang mirip dengan naga. Sedangkan, unsur suku Arab diwakili dengan bulu-bulu warak.
Warak ngendog hanyalah makhluk rekaan yang merupakan simbol persatuan dari berbagai etnis di Kota Semarang tersebut.
Sementara itu, nama ngendog adalah bahasa Jawa yang berarti bertelur.
Hal ini menyimbolkan pahala yang didapat seseorang setelah menjalani proses penyucian.
Secara harfiah, warak ngendog bisa diartikan sebagai individu yang menjaga kesucian di bulan Ramadhan, kelak akan mendapatkan pahala di hari Lebaran.
Itulah makna tradisi dugderan yang jamak dilakukan masyarakat Kota Semarang menjelang Ramadhan.