Intisari-online.com - Kerajaan Melayu adalah salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang berpusat di Jambi, Sumatera.
Kerajaan ini dikenal sebagai kerajaan maritim yang memiliki hubungan dagang dan diplomatik dengan berbagai negara, termasuk Cina.
Hubungan antara Kerajaan Melayu dan Cina dapat ditelusuri dari sumber-sumber sejarah, baik dari Cina maupun dari Nusantara.
Sumber-sumber Sejarah
Salah satu sumber sejarah yang mencatat hubungan antara Kerajaan Melayu dan Cina adalah kitab Dinasti Tang, yang merupakan catatan resmi dari pemerintahan dinasti Tang (618-907 M) di Cina.
Kitab ini mengemukakan kedatangan utusan dari Melayu di Cina pada tahun 644-645 M.
Keterangan ini dapat menjadi indikasi mengenai hubungan Kerajaan Melayu dengan Cina.
Selain itu, sumber sejarah lain yang berasal dari Cina adalah kitab Dinasti Song, yang merupakan catatan resmi dari pemerintahan dinasti Song (960-1279 M) di Cina.
Kitab ini menyebutkan bahwa pada tahun 1017 M, utusan dari San-fo-ch'i (Sriwijaya) datang ke Cina bersama dengan utusan dari Kan-to-li (Melayu).
Hal ini menunjukkan bahwa Kerajaan Melayu masih ada dan berhubungan dengan Cina meskipun telah ditaklukan oleh Sriwijaya pada tahun 685 M.
Sumber sejarah yang berasal dari Nusantara adalah prasasti-prasasti yang ditemukan di wilayah Kerajaan Melayu.
Salah satu prasasti yang penting adalah Prasasti Kota Kapur, yang berasal dari tahun 686 M.
Prasasti ini memuat informasi tentang penguasa Kerajaan Melayu yang bernama Sri Jayanasa, yang mengaku sebagai raja dari seluruh pulau Jawa, Sumatera, dan Semenanjung Malaya.
Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah mengirimkan utusan ke Cina untuk memperoleh pengakuan sebagai raja.
Baca Juga: Sumber Data yang Diperlukan dalam Penelitian Tentang Kerajaan Majapahit adalah 5 Hal Ini
Hubungan Dagang
Hubungan dagang antara Kerajaan Melayu dan Cina didasarkan pada kebutuhan akan komoditas-komoditas yang saling melengkapi.
Kerajaan Melayu memiliki sumber daya alam yang berlimpah dan cukup diminati oleh Cina, seperti kapur barus, damar, gaharu, emas, perak, tembaga, timah, lada, cengkih, kayu manis, dan lain-lain.
Sementara itu, Cina memiliki produk-produk industri yang berkualitas dan bervariasi, seperti sutra, porselen, kertas, tinta, koin, senjata, alat-alat musik, dan lain-lain.
Perdagangan antara Kerajaan Melayu dan Cina dilakukan melalui jalur laut yang disebut sebagai Nanhai Trade (Perdagangan Laut Selatan).
Jalur ini menghubungkan pelabuhan-pelabuhan penting di Asia Tenggara, seperti Palembang, Jambi, Melaka, Kedah, Patani, Champa, Funan, Srivijaya, dan lain-lain.
Jalur ini juga menjadi bagian dari jalur perdagangan internasional yang disebut sebagai Jalur Sutra Maritim (Maritime Silk Road), yang menghubungkan Asia Tenggara dengan India, Timur Tengah, Afrika, dan Eropa.
Perdagangan antara Kerajaan Melayu dan Cina tidak hanya melibatkan pertukaran barang-barang fisik, tetapi juga pertukaran budaya dan pengetahuan.
Hal ini dapat dilihat dari pengaruh agama Buddha yang datang dari India melalui Cina ke Nusantara.
Banyak candi-candi Buddha yang dibangun di wilayah Kerajaan Melayu, seperti Muaro Jambi, Muara Takus, dan Batang Hari.
Selain itu, banyak pula pedagang, pendeta, dan pelaut Cina yang menetap di Nusantara dan bercampur dengan penduduk setempat, membentuk komunitas-komunitas Cina peranakan yang memiliki identitas budaya tersendiri.
Hubungan Diplomatik
Hubungan diplomatik antara Kerajaan Melayu dan Cina dilakukan melalui pengiriman utusan-utusan resmi yang membawa surat-surat, hadiah-hadiah, dan misi-misi tertentu.
Tujuan dari hubungan diplomatik ini adalah untuk menjaga hubungan baik, mempererat kerjasama, meminta perlindungan, atau mengakui kedaulatan.
Hubungan diplomatik ini juga dapat mempengaruhi status politik dan ekonomi dari kerajaan-kerajaan yang terlibat.
Salah satu contoh hubungan diplomatik antara Kerajaan Melayu dan Cina adalah ketika Sri Jayanasa mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 686 M.
Baca Juga: Mengungkap Misteri Prasasti Sanghyang Tapak, Saksi Bisu Berdirinya Kerajaan Pajajaran
Tujuan dari pengiriman utusan ini adalah untuk meminta pengakuan dari kaisar Tang sebagai raja dari seluruh pulau Jawa, Sumatera, dan Semenanjung Malaya.
Hal ini menunjukkan bahwa Sri Jayanasa ingin menegaskan kedaulatannya atas wilayah-wilayah yang sebelumnya berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Namun, permintaan ini ditolak oleh kaisar Tang, yang menganggap bahwa Sri Jayanasa adalah pemberontak yang melawan Sriwijaya, yang merupakan sekutu Cina.
Contoh lain hubungan diplomatik antara Kerajaan Melayu dan Cina adalah ketika utusan dari Melayu datang bersama dengan utusan dari Sriwijaya ke Cina pada tahun 1017 M.
Tujuan dari pengiriman utusan ini adalah untuk menjalin hubungan baik dengan dinasti Song, yang merupakan penerus dinasti Tang.
Hal ini menunjukkan bahwa Kerajaan Melayu masih ada dan berhubungan dengan Cina meskipun telah ditaklukan oleh Sriwijaya pada tahun 685 M.
Kemungkinan besar, Kerajaan Melayu telah memperoleh kemerdekaannya kembali setelah Sriwijaya mengalami kemunduran akibat serangan Rajendra Chola dari India pada tahun 1025 M.