Intisari-online.com - Peristiwa bersejarah yang terjadi pada tanggal 7 Oktober 1756 adalah boyongan atau pindahnya Sultan Hamengku Buwono I dari Ambarketawang ke Keraton Baru yang sekarang menjadi pusat Kota Yogyakarta.
Boyongan ini merupakan salah satu bagian dari perjanjian Giyanti yang mengakhiri Perang Jawa antara Pangeran Mangkubumi (Sultan HB I) dan Pakubuwono III yang dibantu VOC.
Perjanjian Giyanti ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Giyanti, Klaten.
Dalam perjanjian ini, Pangeran Mangkubumi mendapatkan separuh wilayah Mataram yang meliputi daerah Banyumas, Bagelen, Kedu, Pekalongan, Semarang, Demak, Jepara, Pati, Rembang, Blora, Grobogan, dan sebagian Karesidenan Surakarta.
Selain itu, Pangeran Mangkubumi juga mendapatkan gelar Sultan Hamengku Buwono I dengan gelar resmi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I.
Setelah perjanjian Giyanti, Sultan HB I memilih Ambarketawang sebagai tempat tinggal sementara.
Ambarketawang adalah sebuah desa di Gamping, Sleman yang berjarak sekitar 10 km dari pusat Kota Yogyakarta sekarang.
Di sana, Sultan HB I membangun sebuah istana sederhana yang dikenal sebagai Keraton Ambarketawang.
Namun, Sultan HB I tidak puas dengan lokasi Ambarketawang karena dianggap kurang strategis dan kurang representatif sebagai pusat pemerintahan.
Sultan HB I kemudian mencari lokasi baru untuk membangun keraton yang lebih megah dan lebih sesuai dengan konsep tata kota yang diinginkannya.
Baca Juga: Penyebab Peristiwa Tanjung Morawa yang Menjatuhkan Kabinet Wilopo
Setelah melakukan penelitian dan pertimbangan yang matang, Sultan HB I menetapkan lokasi baru di tengah hutan Pabringan yang berada di antara dua sungai besar yaitu Sungai Code dan Sungai Winongo.
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR