Intisari-online.com - Peristiwa perseteruan antara Masyumi dan PKI merupakan salah satu babak penting dalam sejarah politik Indonesia.
Perseteruan ini tidak hanya melibatkan dua partai besar yang memiliki basis massa yang luas, tetapi juga menunjukkan dinamika ideologi dan kekuasaan yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin.
Peristiwa ini juga berdampak pada hasil pemilu 1955, yang menjadi pemilu pertama dan terakhir yang diselenggarakan secara demokratis di Indonesia.
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) adalah partai politik yang berhaluan Islam dan nasionalis.
Partai ini didirikan pada tahun 1943 sebagai wadah perjuangan umat Islam Indonesia melawan penjajahan Jepang.
Masyumi memiliki basis massa yang kuat di kalangan ulama, santri, pedagang, dan pegawai negeri.
Masyumi juga menjadi salah satu pendiri Republik Indonesia dan berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan.
PKI (Partai Komunis Indonesia) adalah partai politik yang berhaluan komunis dan internasionalis.
Partai ini didirikan pada tahun 1920 sebagai cabang dari Komintern (Komunis Internasional).
PKI memiliki basis massa yang kuat di kalangan buruh, tani, dan intelektual.
PKI juga menjadi salah satu pendukung kemerdekaan Indonesia, meskipun sempat mengalami konflik dengan pemerintah pusat.
Perseteruan antara Masyumi dan PKI bermula dari perbedaan ideologi dan visi politik.
Masyumi mengusung nilai-nilai Islam dan nasionalisme, sementara PKI mengusung nilai-nilai komunisme dan internasionalisme.
Masyumi menentang segala bentuk imperialisme dan kolonialisme, sementara PKI menentang segala bentuk kapitalisme dan feodalisme.
Masyumi menghormati agama dan kepercayaan lain, sementara PKI menganggap agama sebagai candu rakyat.
Perseteruan ini semakin memanas dengan adanya intervensi dari negara-negara asing yang memiliki kepentingan di Indonesia.
Amerika Serikat mendukung Masyumi sebagai bagian dari strategi perang dingin melawan komunisme.
Uni Soviet mendukung PKI sebagai bagian dari strategi ekspansi komunisme di Asia Tenggara.
Kedua negara ini berusaha mempengaruhi jalannya politik di Indonesia melalui bantuan ekonomi, militer, dan diplomasi.
Kronologi
Peristiwa perseteruan antara Masyumi dan PKI dapat dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu:
- Tahap pertama (1945-1948): Pada tahap ini, Masyumi dan PKI masih bersatu dalam perjuangan kemerdekaan melawan Belanda.
Namun, perbedaan pendapat mulai muncul terkait dengan bentuk negara dan konstitusi.
Masyumi menginginkan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sementara PKI menginginkan negara berdasarkan demokrasi rakyat dan UUD Sosialis.
Pada tahun 1948, PKI melakukan pemberontakan di Madiun dengan tujuan mendirikan Republik Soviet Indonesia.
Pemberontakan ini berhasil dipadamkan oleh pemerintah pusat dengan bantuan Masyumi.
PKI dinyatakan sebagai partai terlarang dan banyak anggotanya yang ditangkap atau dibunuh.
- Tahap kedua (1949-1952): Pada tahap ini, Masyumi dan PKI kembali bersatu dalam koalisi pemerintahan yang dipimpin oleh Soekarno.
Namun, kerjasama ini tidak berlangsung lama karena adanya ketegangan antara Soekarno dengan Mohammad Natsir, pemimpin Masyumi.
Natsir menentang kebijakan Soekarno yang mengakomodasi kepentingan Belanda dan PKI.
Natsir juga menuntut agar PKI dibubarkan dan anggotanya diadili.
Pada tahun 1952, Soekarno membubarkan kabinet Natsir dan membentuk kabinet baru tanpa Masyumi.
- Tahap ketiga (1953-1955): Pada tahap ini, Masyumi dan PKI menjadi pesaing utama dalam pemilu 1955. Masyumi mengusung slogan "Islam Yes, Komunis No", sementara PKI mengusung slogan "Merdeka, Sejahtera, Beradab".
Masyumi menyerang PKI dengan mengingatkan publik tentang pemberontakan Madiun dan sikap anti agama komunisme.
PKI menyerang Masyumi dengan menuduhnya sebagai agen Amerika dan pengkhianat bangsa.
Kedua partai ini juga bersaing dalam memperebutkan dukungan dari rakyat, terutama di daerah-daerah pedesaan.
- Tahap keempat (1956-1965): Pada tahap ini, Masyumi dan PKI mengalami nasib yang berbeda.
Masyumi mengalami kemunduran karena terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta yang menentang kebijakan Soekarno.
Masyumi dinyatakan sebagai partai terlarang dan banyak pemimpinnya yang ditangkap atau dibuang.
PKI mengalami kemajuan karena mendapat dukungan dari Soekarno dan Uni Soviet.
PKI menjadi partai terbesar kedua di Indonesia dan banyak anggotanya yang menduduki posisi penting di pemerintahan dan militer.
Namun, pada tahun 1965, PKI menjadi korban dari peristiwa G30S/PKI yang diduga sebagai upaya kudeta terhadap Soekarno.
PKI dituduh sebagai dalang dari peristiwa tersebut dan menjadi sasaran pembantaian massal oleh militer dan rakyat.
Dampak
Peristiwa perseteruan antara Masyumi dan PKI memiliki dampak yang signifikan bagi sejarah politik Indonesia, antara lain:
- Dampak bagi pemilu 1955: Peristiwa perseteruan antara Masyumi dan PKI mempengaruhi hasil pemilu 1955.
Pemilu ini dimenangkan oleh PNI dengan perolehan suara sebesar 22,3%, diikuti oleh NU dengan 18,4%, Masyumi dengan 20,9%, dan PKI dengan 16,4%.
Pemilu ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia terbagi menjadi empat kelompok besar, yaitu nasionalis sekuler, Islam tradisional, Islam modern, dan komunis.
Pemilu ini juga menunjukkan bahwa tidak ada satu partai pun yang mampu memperoleh mayoritas absolut suara.
Hal ini menyulitkan pembentukan pemerintahan yang stabil dan efektif.
- Dampak bagi demokrasi: Peristiwa perseteruan antara Masyumi dan PKI mengancam eksistensi demokrasi di Indonesia.
Perseteruan ini menciptakan polarisasi politik yang tajam dan konflik sosial yang berkepanjangan.
Perseteruan ini juga menyebabkan ketidakpercayaan publik terhadap partai-partai politik dan lembaga-lembaga demokrasi.
Perseteruan ini juga dimanfaatkan oleh Soekarno untuk memperkuat kekuasaannya dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan parlemen dan mengembalikan UUD 1945.
Perseteruan ini juga menjadi salah satu faktor penyebab dari peristiwa G30S/PKI yang mengakhiri era demokrasi terpimpin dan memulai era orde baru.
- Dampak bagi masyarakat: Peristiwa perseteruan antara Masyumi dan PKI menimbulkan trauma bagi masyarakat Indonesia.
Perseteruan ini menyebabkan banyak korban jiwa, baik dari kalangan sipil maupun militer.
Perseteruan ini juga menyebabkan banyak kerusakan materi, baik dari infrastruktur maupun properti.
Perseteruan ini juga menyebabkan banyak pengungsi, baik dari dalam maupun luar negeri.