Bisa dibilang, corak masyarakat di Kerajaan Aceh dibagi dalam dua masa: masa sebelum Sultan Iskandar Muda dan masa setelah Sultan Iskandar Muda.
Di awal-awal, Kerajaan Aceh lebih banyak berkonsentrasi dalam pembentukan kekuatan militer dalam upaya mempertahankan keberadaannya dari ancaman yang datang dari dalam ataupun luar.
Di samping itu, kekuatan militernya diperlukan untuk ekspansi ke daerah sekitar guna menambah wilayah kekuasaan.
Saat Iskandar Muda berkuasa, dia tidak hanya melanjutkan kegiatan ekspansi wilayah seperti para pendahulunya.
Sultan Iskandar Muda juga berusaha menata rapi sistem politik dalam kerajaan, terutama yang berkaitan dengan konsolidasi dan peletakan pengawasan terhadap wilayah-wilayah yang dikuasainya.
Setelah Sultan Iskandar Muda naik takhta, Kesultanan Aceh mengalami perkembangan pesat hingga mencapai puncak kejayaannya.
Di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh tumbuh menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas perdagangan.
Di masa inilah Kerajaan Aceh disebut menjadi bandar transit yang menghubungkan dengan pedagang Islam di Barat.
Sultan Iskandar Muda juga meneruskan perjuangan Aceh dengan menyerang Portugis dan Kerajaan Johor di Semenanjung Malaya.
Tujuannya untuk menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan menguasai daerah-daerah penghasil lada.
Di samping itu, Kerajaan Aceh memiliki kekuasaan yang sangat luas, meliputi daerah Aru, Pahang, Kedah, Perlak, dan Indragiri.
Pada 1641, atau sepeninggal Sultan Iskandar Thani, Kerajaan Aceh mengalami kemunduran.
Faktor kejatuhan Kerajaan Aceh paling utama adalah adanya perebutan kekuasaan di antara para pewaris takhta.
Selain itu, kekuasaan Belanda di Pulau Sumatera dan Selat Malaka semakin menguat.
Pada masa pemerintahan raja terakhir Kerajaan Aceh, Belanda terus melancarkan perang terhadap Aceh.
Setelah melakukan peperangan selama 40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh ke pangkuan kolonial Belanda.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR