Kisruh Penetapan Tersangka Kabasarnas, Mengapa Disamakan Dengan Kasus Helikopter AW-101?

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Kasus korupsi pembelian Helikopter AW-101 dikaitkan dengan kisruh kasus OTT KPK kepada Kabarnas.
Kasus korupsi pembelian Helikopter AW-101 dikaitkan dengan kisruh kasus OTT KPK kepada Kabarnas.

Intisari-online.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menjadi sorotan setelah menetapkan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi dan anak buahnya Letkol Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan peralatan SAR tahun 2019-2020.

Penetapan tersangka ini dianggap melanggar prosedur hukum karena tidak berkoordinasi dengan Polisi Militer TNI (POM TNI) terlebih dahulu, mengingat Henri dan Afri merupakan anggota TNI aktif.

Kisruh penetapan tersangka ini mengingatkan publik pada kasus korupsi pembelian helikopter angkut Agusta Westland (AW)-101 di TNI Angkatan Udara (AU) tahun 2015-2017 yang juga menyeret anggota TNI aktif.

Kasus ini sempat menjadi perhatian karena diduga merugikan negara hingga Rp 738,9 miliar.

Namun, hingga kini kasus ini belum juga tuntas dan mandek di tangan POM TNI.

Apakah kasus korupsi di Basarnas akan bernasib sama dengan kasus korupsi helikopter AW-101?

Apakah ada kemungkinan adanya intervensi atau tekanan dari pihak militer terhadap penanganan kasus ini oleh KPK?

Apakah ada harapan bagi masyarakat agar kasus ini dapat diselesaikan secara transparan dan akuntabel?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu melihat beberapa perbedaan dan persamaan antara kedua kasus tersebut.

Berikut adalah beberapa poin yang dapat kita pertimbangkan:

Perbedaan:

Baca Juga: Jadi Tersangka Dugaan Suap Alat Bantuan Bencana, Kekayaan Kepala Basarnas Henry Alfiandi Capai 10 M

1. Kasus korupsi di Basarnas tidak berkaitan dengan pelaksanaan tugas keprajuritan, sedangkan kasus korupsi helikopter AW-101 berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan pertahanan negara.

Hal ini berpengaruh pada kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap anggota TNI yang terlibat korupsi.

Menurut UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, dalam Pasal 10 ayat (2) dijelaskan bahwa dalam hal pelaku tindak pidana korupsi adalah anggota TNI, KPK wajib berkoordinasi dengan POM TNI.

Namun, jika tindak pidana korupsi tersebut berkaitan dengan pelaksanaan tugas keprajuritan, maka KPK harus menyerahkan penyelidikan dan penyidikan kepada POM TNI.

2. Kasus korupsi di Basarnas melibatkan pihak swasta sebagai pemberi suap, sedangkan kasus korupsi helikopter AW-101 tidak melibatkan pihak swasta sebagai pemberi suap.

Hal ini berpengaruh pada kemudahan KPK dalam mengungkap aliran dana dan bukti-bukti lainnya yang terkait dengan kasus tersebut.

Selain itu, hal ini juga berpengaruh pada keterbukaan informasi dan akses media terhadap perkembangan kasus tersebut.

4. Kasus korupsi di Basarnas terjadi pada masa kepemimpinan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK, sedangkan kasus korupsi helikopter AW-101 terjadi pada masa kepemimpinan Agus Rahardjo sebagai Ketua KPK.

Hal ini berpengaruh pada sikap dan komitmen pimpinan KPK dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan anggota TNI.

Firli Bahuri dikenal sebagai sosok yang kontroversial dan kerap dikritik oleh publik karena dianggap melemahkan KPK.

Sementara itu, Agus Rahardjo dikenal sebagai sosok yang konsisten dan berani dalam memberantas korupsi.

Baca Juga: Sosok Brigjen Endar Priantoro, Purnawirawan Polri yang Kembali ke KPK, Ini Alasannya!

Persamaan:

1. Kedua kasus tersebut sama-sama menimbulkan kisruh dan konflik antara KPK dan TNI.

Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan dalam penerapan aturan hukum yang mengatur kewenangan KPK dan TNI dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan anggota TNI.

Selain itu, hal ini juga disebabkan oleh adanya dugaan adanya intervensi atau tekanan dari pihak militer terhadap penanganan kasus tersebut oleh KPK.

2. Kedua kasus tersebut sama-sama menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia.

Hal ini disebabkan oleh lambatnya dan mandeknya penyelesaian kasus-kasus tersebut, serta adanya indikasi adanya impunitas atau kekebalan hukum bagi anggota TNI yang terlibat korupsi.

Selain itu, hal ini juga disebabkan oleh rendahnya transparansi dan akuntabilitas KPK dan TNI dalam menangani kasus-kasus tersebut.

Dari poin-poin di atas, dapat disimpulkan bahwa kasus korupsi di Basarnas memiliki beberapa perbedaan dan persamaan dengan kasus korupsi helikopter AW-101.

Perbedaan-perbedaan tersebut dapat memberikan peluang bagi KPK untuk menuntaskan kasus korupsi di Basarnas dengan lebih cepat dan efektif, jika KPK bersikap tegas dan profesional dalam menjalankan kewenangannya.

Namun, persamaan-persamaan tersebut juga dapat memberikan tantangan bagi KPK untuk menghadapi tekanan dan konflik dengan TNI, jika KPK tidak berkoordinasi dan berkomunikasi dengan baik dengan TNI.

Oleh karena itu, diperlukan adanya sinergi dan kerjasama antara KPK dan TNI dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan anggota TNI.

KPK dan TNI harus saling menghormati dan menghargai kewenangan dan tanggung jawab masing-masing, serta mengedepankan asas praduga tak bersalah dan hak asasi manusia bagi para tersangka.

Baca Juga: Di Balik Peristiwa Menpora Dito Ariotedjo Dipanggil Kejagung, Ini Daftar Menteri yang Tersangkut Kasus Korupsi

KPK dan TNI juga harus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kepada publik dalam menangani kasus-kasus tersebut, serta memberikan informasi yang akurat dan terkini kepada media.

Semoga artikel ini bermanfaat bagi Anda yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang kisruh penetapan tersangka Kabasarnas dan perbandingannya dengan kasus korupsi helikopter AW-101.

Artikel Terkait