Dibanding keraton Karta, Keraton Plered disebut lebih megah. Tapi sayang, ibu kota Mataram Islam ini tak berumur panjang.
Intisari-Online.com - Sebagai ibu kota Mataram Islam,Keraton Plered disebut-sebut jauh lebih megah dibanding Keraton Karta.
Begitu kata sebagian ahli.
Seorang pejabat VOC yang datang ke Plered menggambarkan keindahan Keraton Plered dengan begitu detailnya.
Tapi sayang, usia Keraton Plered tidak lama.
Istana megah yang kabarnya sudah dicanangkan sedang zaman Sultan Agung itu hancur saat pasukan Trunojoyo, seorang bangsawan dari Madura, menyerbu.
Serbuan itu juga membuat Amangkurat I, raja Mataram saat itu, melarikan diri ke Barat, dan meninggal dunia dalam pelarian.
Pejabat itu bukan pejabat biasa, tapi seorang Rijkof van Goens, Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Belum terlalu jelas kapan van Goens mengunjungi Keraton Plered, tapi kesan yang dia tulis menjelaskan kekagumannya.
Pada 1647 Amangkurat I memindahkan ibu kota Mataram Islam dari Karta ke Plered.
Berbeda dengan Keraton Karta yang didominasi kayu, Keraton Plered disebut lebih banyak dibangun menggunakan batu bata.
"Kamu semua harus membuat batu bata, karena saya mau angkat kaki dari Karta, saya ingin membangun kota di Plered," begitu kata Amangkurat I, tertera dalam Babad Tanah Jawi.
Keraton baru letaknya sekitar 2 km sebelah timur keraton lama.
Keraton baru ini dikelilingi dengan tembok-tembok setinggi 18-20 kaki dengan kedalaman 8-12 kaki.
Nah, seperti disebut di awal, keraton baru ini mendapat penilaian khusus dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda Rijklof van Goens.
Dia melukiskan Keraton Plered dengan begitu detilnya.
Dalam perjalanan menuju Plered sekitar 18 - 19 mil dari kota pelabuhan Semarang, terletak pintu gerbang pertama, disebut Selimbi.
Pada pintu gerbang ini terdapat benteng yang dihuni sekitar 1500 hingga 1600 orang.
Benteng itu dijaga para prajurit keraton, semua yang lewat gerbang dicatat oleh juru tulis.
Sekitar 1 - 1,5 mil dari gerbang Selimbi, terbentang daerah Mataram yang subur, sawah sangat luas hingga batasnya tidak tampak.
Desa-desa sangat subur banyak ditemui sepanjang jalan.
Di antara sawah-sawah ditemui perbukitan yang ditanami pohon buah-buahan.
Diperkirakan pintu gerbang Selimbi merupakan pintu masuk wilayah negara agung Mataram.
Jalan antara gerbang Selimbi dan gerbang kedua berjarak sekitar 7 mil.
Setelah gerbang kedua, terlihat pegunungan mengitari pusat kerajaan Plered.
Menurut Rijklof van Goens, desa-desa yang berada di antara dua gerbang tersebut dihuni banyak penduduk.
Setiap desa berpenduduk sekitar 100 - 150 orang, bahkan ada yang berpenghuni sekitar 1000 - 1500 orang.
Pusat kerajaan dicapai setelah melalui garbang ketiga, yang dinamai Kaliajir.
Dari gerbang ini terdapat jalan menuju istana raja, sepanjang 2 mil.
Antara gerbang Kaliajir dan istana raja, banyak ditemui rumah para pangeran dan berbagai residen.
Pagar kota diperkirakan berukuran luas 2 x 2 mil, dengan ketinggian tembok sekitar 6 – 7 meter.
Beberapa komponen di dalam tembok keraton adalah sebagai berikut: sitinggil, bangsal witana, mandungan, sri menganti, pecaosan, sumur gumuling tempat memandikan keris pusaka, masjid panepen (Suronoto), prabayeksa, bangsal kencana, bangsal kemuning, bangsal manis, gedong kuning, dan tempat tinggal abdi dalem kedhondhong.
Di sebelah utara komplek kraton terdapat alun-alun berukuran sekitar 300 x 400 m, dengan masjid di sebelah baratnya.
Di dalam komplek masjid terdapat makam.
Desa Kauman berada di sekitar masjid, diperkirakan dihuni oleh para pemuka agama dan pegawai masjid.
Rumah-rumah para pangeran terletak di sebelah utara alun-alun, menuju gerbang Kaliajir.
Di sekitar desa Segarayasa, dulu terdapat danau buatan, terletak di sebelah selatan kraton.
Di tengah danau (Segarayasa) tersebut terdapat sebuah pulau, dipergunakan untuk meditasi dansembahyang raja
Keindahan bangunan Keraton Plered karena dilengkapi dengan danau buatan atau Segarayasa, yang berfungsi tidak hanya sebagai tempat rekreasi keluargan raja.
Tapi bangunan ini juga sebagai tempat perikanan, perairan dan latihan perang.
Di sebelah utara Segoroyoso terdapat areal perbukitan Gunung Kelir, disini merupakan tempat makam Panjang Mas dan Ratu Mas Malang.
Pembangunan komponen-komponen Keraton Plered dilakukan secara bertahap.
Hal tersebut dapat diketahui dari Serat Babad Momana yang menyebutkan tahun pendirian beberapa bangunan, meliputi kadipaten (1569 J), masjid agung (1571 J), prabayeksa (1572 J), segarayasa (1574 J).
Keterangan lain yang dapat diperoleh adalah pembangunan sitinggil bagian bawah dengan batu (1572 J), pembangunan witana atau anjungan di sitinggil (1574 J), permulaan pembangunan karadenan atau kediaman putra mahkota (1576 J), dan pembangunan bangsal di srimenganti(1585 J).
Sayang, kemegahan Keraton Plered tidak bisa kita nikmati hingga sekarang.
Istana ini porak-poranda akibat serangan Trunojoyo.
Pangeran Puger sempat memakainya, tapi tetap tak bisa mengembalikan tuahnya sebagai ibu kota Mataram Islam.
Pemberontakan Trunojoyo bisa dibilang sebagai salah satu fase paling buruk dalam sejarah Mataram Islam.
Ini adalah fase ketika keraton Mataram Islam di Plered didukuki Trunojoyo, sementara sang sang raja, Amangkurat I, kabur ke wilayah Tegal.
Belum sempat kembali ke keratonnya, Amangkurat I keburu mangkat di sana.
Pemberontakan Trunojoyo adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang terjadi pada abad ke-17.
Pemberontakan ini dilancarkan oleh pangeran Madura, Raden Trunojoyo, dan sekutunya, pasukan dari Makassar, terhadap Kesultanan Mataram di bawah Amangkurat I yang dibantu oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) di Jawa. P
Pemberontakan ini berakhir dengan kemenangan Mataram dan VOC setelah beberapa tahun perang.
Pemberontakan Trunojoyo dipicu oleh ketidakpuasan terhadap pemerintahan Amangkurat I yang menggantikan Sultan Agung pada tahun 1646.
Amangkurat I dikenal sebagai raja yang zalim, sewenang-wenang, dan bersekutu dengan VOC.
Ia sering membunuh siapa saja yang dianggap tidak patuh atau berusaha merongrong kekuasaannya, termasuk para ulama dan santri yang jumlahnya mencapai ribuan.
Amangkurat I juga menandatangani perjanjian dengan VOC yang memberi izin kepada Belanda untuk berdagang di semua pelabuhan Mataram.
Trunojoyo sendiri adalah seorang bangsawan Madura yang masih cicit Sultan Agung.
Ayahnya, Raden Demang Melayakusuma, dibunuh oleh Amangkurat I di istana pada tahun 1656.
Trunojoyo kemudian melarikan diri ke Kajoran dan menikahi putri Raden Kajoran yang merupakan ulama dan kerabat istana Mataram.
Di sana ia bertemu dengan putra mahkota Mataram, Raden Mas Rahmat (kelak Amangkurat II), yang juga tidak senang dengan ayahnya.
Mereka sepakat untuk bersekongkol melawan Amangkurat I dengan janji bahwa Raden Mas Rahmat akan menjadi raja baru dan Trunojoyo akan mendapat kekuasaan atas Madura dan sebagian Jawa Timur.
Pada tahun 1674, Trunojoyo berhasil merebut Madura dari Cakraningrat II, penguasa setempat yang diasingkan oleh Amangkurat I.
Ia kemudian memproklamirkan diri sebagai Panembahan Maduretno dan mendirikan pemerintahan di Madura Barat.
Ia juga menjalin kerjasama dengan Karaeng Galesong dan Mantemarano, pemimpin pasukan Makassar yang melarikan diri dari Sulawesi setelah dikalahkan oleh VOC.
Selain itu, ia juga mendapat dukungan dari Panembahan Giri dari Surabaya yang tidak menyukai pemerintahan Mataram.
Dengan pasukan gabungan Madura, Makassar, dan Surabaya, Trunojoyo mampu menguasai Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah.
Pada tahun 1677, ia berhasil menduduki ibu kota Mataram di Plered dan memaksa Amangkurat I yang sedang sakit melarikan diri ke arah Barat untuk meminta bantuan kepada VOC, tepatnya di sebuah wilayah bernama Tegalarum, Tegal.
Dalam pelariannya, Amangkurat I meninggal dan digantikan oleh Raden Mas Rahmat sebagai Amangkurat II.
Amangkurat II kemudian meminta bantuan kepada VOC dengan menjanjikan pembayaran dalam bentuk uang dan wilayah.
VOC menyanggupi permintaan itu karena ingin mengamankan kepentingannya di Jawa dan menghentikan pengaruh Makassar.
VOC juga mendapat bantuan dari Arung Palakka, pemimpin Bugis yang menjadi sekutu VOC setelah kalah dari Makassar.
Keterlibatan VOC berhasil membalikkan situasi.
Pasukan VOC dan Mataram merebut kembali daerah-daerah Mataram yang diduduki oleh Trunojoyo di Kediri pada tahun 1678.
Trunojoyo melarikan diri ke arah timur dan terus melakukan perlawanan bersama pasukan Makassar.
Namun, pasukan Makassar mulai berkurang karena banyak yang meninggal atau menyerah.
Karaeng Galesong sendiri tewas dalam pertempuran di Pasuruan pada tahun 1679.
Trunojoyo akhirnya ditangkap oleh VOC di daerah Roban (sekarang Kabupaten Tuban) pada akhir 1679.
Ia dibawa ke Jepara dan ditahan di benteng VOC.
Amangkurat II kemudian mengunjungi Trunojoyo di penjara dan membunuhnya dengan cara yang kejam pada tahun 1680.
Ia memenggal kepala Trunojoyo dan menginjak-injak serta menumbuk tubuhnya.
Selain Trunojoyo dan sekutunya, Amangkurat II juga menghadapi upaya-upaya lain untuk merebut takhta Mataram pasca kematian ayahnya.
Rival paling serius adalah adiknya, Pangeran Puger (kelak Pakubuwana I) yang merebut Keraton Plered setelah ditinggalkan pasukan Trunojoyo pada tahun 1677 dan baru menyerah pada tahun 1681.