Amangkurat III Raja Mataram yang Wafat di Sri Lanka Akibat Intrik Belanda

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Amangkurat III
Ilustrasi - Amangkurat III

Intisari-online.com -Raja Mataram yang wafat di Sri Lanka akibat intrik Belanda adalah Amangkurat III, yang juga dikenal sebagai Sunan Mas.

Ia adalah putra tunggal dari Amangkurat II, raja Mataram keenam yang memerintah antara tahun 1681-1703.

Ia naik takhta pada tahun 1703, menggantikan ayahnya yang meninggal karena sakit.

Namun, ia tidak mendapat dukungan penuh dari keluarga dan pejabat keraton, karena sebagian besar lebih memilih pamannya, Pangeran Puger, sebagai raja Mataram berikutnya.

Amangkurat III merasa terancam oleh Pangeran Puger dan mencoba mengurungnya sekeluarga. Namun, hal ini justru memicu pemberontakan dari putra Pangeran Puger, yaitu Raden Suryakusuma.

Amangkurat III pun ketakutan dan meminta bantuan dari VOC, perusahaan dagang Belanda yang saat itu berkuasa di Batavia.

VOC menjanjikan bantuan asalkan Amangkurat III mau menyerahkan beberapa wilayah Mataram kepada mereka, termasuk Semarang dan Jepara.

Amangkurat III menyetujui permintaan VOC dan bersama-sama mereka berhasil mengalahkan Raden Suryakusuma.

Namun, VOC tidak puas dengan hasilnya dan terus menuntut lebih banyak wilayah dari Mataram.

Amangkurat III pun merasa tertipu dan berusaha melawan VOC.

Ia juga mencoba mendekati musuh VOC, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten.

Baca Juga: Pakubuwono III, Raja yang Menyerahkan Setengah Kerajaan Mataram kepada Pangeran Mangkubumi

Namun, upaya ini gagal karena Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap oleh VOC pada tahun 1706.

VOC semakin agresif dan menyerbu ibu kota Mataram, Kartasura, pada tahun 1707.

Amangkurat III terpaksa melarikan diri ke timur bersama keluarganya dan beberapa pengikut setianya.

Ia berharap mendapat bantuan dari Sunan Giri, pemimpin spiritual Islam di Jawa Timur.

Namun, Sunan Giri ternyata sudah bersekutu dengan VOC dan menolak memberi perlindungan kepada Amangkurat III.

Amangkurat III pun terus berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran VOC.

Ia sempat berada di Madiun, Kediri, Blitar, Malang, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Banyuwangi, hingga Bali.

Di Bali, ia bertemu dengan Dewa Agung, raja Bali yang juga bermusuhan dengan VOC.

Dewa Agung bersedia memberi suaka kepada Amangkurat III asalkan ia mau menikahi putrinya.

Amangkurat III menyetujui tawaran Dewa Agung dan menikahi putrinya yang bernama Ni Gusti Ayu.

Mereka tinggal di istana Dewa Agung di Klungkung selama beberapa tahun.

Baca Juga: Belanda Diizinkan Dirikan Benteng di Mataram pada Masa Raja yang Tega Habisi Ulama-ulama Ini

Namun, VOC tidak berhenti mengejar Amangkurat III dan akhirnya berhasil menemukannya di Bali pada tahun 1719.

VOC menawarkan perdamaian kepada Amangkurat III asalkan ia mau mengakui kekuasaan Pakubuwana I, putra Pangeran Puger yang telah dinobatkan sebagai raja Mataram baru oleh VOC.

Amangkurat III menolak tawaran VOC dan bersikeras bahwa ia adalah raja Mataram yang sah.

Ia juga tidak mau meninggalkan istri dan anak-anaknya di Bali untuk kembali ke Jawa.

Akhirnya, VOC memutuskan untuk menangkap Amangkurat III secara paksa dan membawanya ke Batavia sebagai tahanan politik.

Dari Batavia, ia kemudian diasingkan ke Sri Lanka, sebuah pulau di Samudra Hindia yang saat itu dikuasai oleh Belanda.

Di Sri Lanka, Amangkurat III hidup dalam pengawasan ketat VOC.

Ia tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan keluarga atau pengikutnya yang masih di Jawa atau Bali.

Ia juga tidak diberi fasilitas yang layak sebagai seorang raja. Ia tinggal di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota Colombo, ibu kota Sri Lanka.

Ia wafat di sana pada tahun 1734, dalam usia sekitar 50 tahun.

Amangkurat III adalah raja Mataram terakhir yang berusaha mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan kerajaannya dari campur tangan VOC.

Ia juga adalah raja Mataram pertama yang meninggal di luar tanah Jawa. Konon, ia membawa beberapa harta pusaka warisan Mataram ke Sri Lanka, seperti pusaka Kyai Ageng Plered dan Kyai Ageng Suryoputro.

Namun, harta pusaka tersebut tidak pernah dikembalikan ke Jawa dan nasibnya tidak diketahui.

Artikel Terkait