Masyarakat Bugis-Makassar punya tradisi unik menyambut sanak saudara mereka yang baru saja menjalankan ibadah haji, namanya Mappatoppo.
Intisari-Online.com -Ada banyak tradisi menyambut kedatangan jamaah haji di Indonesia.
Salah satunya adalah tradisi Mappatoppo di Makassar, Sulawesi Selatan.
Mengutip dari situs Kemenag Maluku Utara, Mappatoppo adalah syukuran atas suksesnya seseorang melakukan seluruh ritus ibadah haji.
Masih dari situs yang sama, Mappatoppo juga merupakan penguatan nilai kemanusian selama dalam kegiatan ritual ibadah haji, saling membantu, tolong menolong dan saling menguatkan.
Tradisi ini biasanya diakhiri dengan saling berjabat tangan, tanda saling memaafkan.
Soal tradisi mappatoppo, sebuahartikel berjudul "Makna Simbolik Haji Dalam Perspektif Masyarakat Bugis" yang terbit di jurnal Sang Pencerah Universitas Muhammadiyah Buton menjelaskannya dengan detail.
Di situ tertulis, mappatoppo adalahkegiatan menyematkan lipatan taliling atau talulu, yaitu kerudung panjang yang digulung dan dililitkandi kepala haji perempuan.
Jugapemakaian surban dan songkok haji bagi laki-laki.
Ritual ini dilaksanakan sebagai bentuk peresmian penyempurnaan rukun Islam.
Juga sebagai salah satu penguat bagi jamaah Bugis dalam melengkapi dirinya setelah berhaji.
Yaitu dia harussiapmelaksanakan perintah Allah SWT yang tertuang dalam rukun Islam dan siap mengimplementasikannya dalam kehidupan masyarakat.
Ritual mappatoppo merupakan tradisi masyarakat Bugis yang secara turun-temurun dilakukan jamaah haji.
Masyarakat Bugis membawa nilai spiritual dengan menghubungkan antara haji dan budaya.
Salah satunya dengan melakukan ritual mappatoppo untuk melengkapi dirinya dalam melakukan suatu proses supaya dia mendapat predikat haji maqbul.
Bagi jamaah haji,mappatoppo dianalogikan seperti sarjana.
Mappatoppo adalahpersaksian akademik kepada seseorang bahwa dia sudah resmi menjadi seorang haji.
Lebih dari itu, ini adalah ritual mengungkap rasa syukur karena bisa melaksanakan ibadah haji.
Mappatoppo juga seolah sebagai penegur, siapa pun yang sudah menyandang gelar haji tidak boleh mempunyai perilaku yang bertentangan dengan tabiat haji.
Artinya, seorang haji harus mempunya perilaku-perilaku jujur, baik terhadap sesama, ibadahnya semakin rajin, dan lain sebagainya.
Tradisi ini juga menegaskan, predikat haji mabrur tak sekadar hadiah karena sudah melaksanakan ibadah haji.
Justru sebaliknya, tradisi ini seolah menuntut si haji untuk melakukan perbuatan yang lebih baik dari sebelumnya.
Begitulah tradisi Mappatoppo seharusnya terjadi.