Intisari-online.com - Keraton Kartasura adalah mantan keraton dan ibu kota Kesultanan Mataram pada tahun 1680-1745, setelah Keraton Plered.
Keraton ini dibangun oleh Amangkurat II pada tahun 1680, karena Keraton Plered saat itu telah dikuasai Pangeran Puger yang ditunjuk menjaga Plered oleh Amangkurat I, ketika terjadi pemberontakan Trunajaya.
Pangeran Puger akhirnya dapat dipersuasi untuk bergabung ke Kartasura dan menghormati kedaulatan kakaknya sebagai Amangkurat II.
Keraton Kartasura memiliki arsitektur Jawa yang kuat dan indah, dengan dikelilingi benteng, baluwarti, taman keraton (Gunung Kunci), gedong piring, gedong obat, dalem pangeran, dan berbagai fasilitas lainnya.
Nama "Kartasura" diambil dari bahasa Jawa Kuno: karta artinya "sejahtera", atau dalam bahasa Sanskerta: kṛta berarti suatu "prestasi" dan sura yang berarti "gagah".
Dengan demikian nama Kartasura yang dimaksud berarti sebuah kota yang gagah berjuang untuk kesejahteraan suatu bangsa.
Namun, kesejahteraan dan kegagahan itu tidak bertahan lama.
Selama pusat pemerintahan berada di Kartasura, pemberontakan demi pemberontakan terjadi hingga akhirnya pusat Kerajaan Mataram kembali berpindah di sebuah daerah yang hingga kini dinamakan Surakarta. Berikut adalah kisah tragis runtuhnya Keraton Kartasura:
Pemberontakan Geger Pecinan
Pada tahun 1740, terjadi peristiwa pembunuhan etnis Tionghoa di Batavia oleh VOC yang menyebabkan banyak orang Tionghoa melarikan diri ke Jawa Tengah dan Timur.
Mereka kemudian bergabung dengan para pemberontak yang menentang kekuasaan VOC dan Mataram.
Salah satu kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Sunan Kuning (Radèn Mas Said) menyerang Kartasura pada tahun 1741 dan berhasil menembus benteng keraton.
Baca Juga: Songgobuwono, Tempat Bermeditasi dan Mengawasi Musuh bagi Raja Keraton Mataram Solo
Mereka membakar beberapa bangunan keraton dan membunuh banyak pejabat kerajaan.
Sunan Pakubuwana II yang saat itu menjadi raja Mataram berhasil melarikan diri ke Ponorogo dengan bantuan VOC.
Pemberontakan Cina Benteng
Pada tahun 1742, Sunan Pakubuwana II kembali ke Kartasura dengan dukungan VOC dan menumpas sisa-sisa pemberontak Geger Pecinan.
Namun, ia tidak dapat menikmati kedamaian karena segera muncul pemberontakan baru yang dipimpin oleh Radèn Mas Garendi (Cina Benteng), putra dari seorang bangsawan Tionghoa dan seorang perempuan Jawa.
Cina Benteng mengklaim dirinya sebagai keturunan Amangkurat III dan menuntut hak atas takhta Mataram.
Ia juga mendapat dukungan dari sebagian besar rakyat Jawa yang tidak puas dengan kebijakan Sunan Pakubuwana II yang pro-VOC.
Pada bulan Juli 1742, Cina Benteng menyerbu Kartasura dengan pasukan yang besar dan berhasil menguasai keraton.
Ia kemudian mengangkat dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Sunan Inggris (karena ia mengenakan seragam tentara Inggris).
Sunan Pakubuwana II kembali melarikan diri ke Ponorogo dengan bantuan VOC.
Cina Benteng memerintah di Kartasura selama beberapa bulan dengan kejam dan sewenang-wenang.
Ia juga melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Tionghoa yang tidak mau mendukungnya atau yang masih setia kepada VOC.
Baca Juga: Kalah Perang, Ratusan Prajurit Mataram Islam Dihukum Mati Sultan Agung, VOC Ngeri Melihatnya
Pembakaran Keraton Kartasura
Pada bulan November 1742, Sunan Pakubuwana II bersama VOC melancarkan serangan balasan terhadap Cina Benteng.
Mereka berhasil merebut kembali Kartasura dan mengepung keraton yang masih dikuasai oleh Cina Benteng.
Setelah bertahan selama beberapa hari, Cina Benteng menyadari bahwa ia tidak dapat bertahan lebih lama.
Ia kemudian memutuskan untuk membakar keraton dan melarikan diri bersama pasukannya.
Api yang berkobar dengan hebat menghanguskan hampir seluruh bangunan keraton dan menyisakan puing-puing yang menyedihkan.
Sunan Pakubuwana II yang melihat keratonnya terbakar habis merasa sangat sedih dan marah.
Ia kemudian memerintahkan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke daerah yang lebih aman dan jauh dari pengaruh VOC.
Kemudian memilih sebuah desa di tepi Sungai Bengawan Solo yang bernama Sala (Surakarta) untuk menjadi ibu kota Mataram yang baru.
Ia juga membangun keraton baru di sana yang dinamakan Keraton Surakarta Hadiningrat.
Dengan demikian, Keraton Kartasura berakhir sejarahnya sebagai ibu kota Mataram.
Bekas keraton itu kemudian ditinggalkan begitu saja dan menjadi hutan belantara yang penuh dengan menjangan.
Hingga ratusan tahun kemudian, bekas Keraton Kartasura kembali ditemukan dalam kondisi yang memprihatinkan.
Peninggalan yang masih tersisa dari Keraton Kartasura hingga saat ini adalah sebagian dinding cepuri, baluwarti, taman keraton (Gunung Kunci), gedong piring, gedong obat, dalem pangeran, dan toponim yang merupakan komponen kota Kartasura di masa lalu.