Dia tidak mencabut kekuasaan Pangeran Pekik, putra Adipati Surabaya, di wilayahnya. Malah, dia mengundang Pekik ke istana Mataram di Kerta pada tahun 1628.
Pekik ditemani oleh Tumenggung Sepanjang, bupati Mataram di Surabaya, dalam perjalanan ke Mataram.
Sementara itu, Tumenggung Alap-Alap ditugaskan sebagai pelaksana tugas bupati Surabaya selama Pekik berada di Mataram.
Dalam perjalanan, Pekik berhenti di Butuh, Surakarta. Dia bermalam di makam Sultan Hadiwijaya, pendiri Kerajaan Pajang.
Di sana, dia mendapat wangsit bahwa salah satu cucunya akan menjadi raja Mataram dengan gelar Hamangkurat atau Amangkurat.
Cucu itu akan membangun keraton di hutan Wanakerta, dekat Pajang. Cucu itu adalah Hamangkurat II atau Amangkurat Amral.
Pernikahan Politik pada masa Sultan Agung
Pekik disambut dengan baik oleh Sultan Agung ketika tiba di Kerta. Dia diminta tinggal di Mataram dan diberi kediaman yang disebut Ndalem Kasurabayan.
Sultan Agung kemudian menikahkan adiknya, Ratu Pandansari, dengan Pekik. Ini adalah bentuk perkawinan politik untuk mengokohkan hubungan antara Mataram dan Surabaya.
Sultan Agung menghormati Pekik karena dia masih keturunan Sunan Ampel atau Raden Rahmat.
Perkawinan politik ini mirip dengan yang dilakukan oleh kakek Sultan Agung, Panembahan Senopati, ketika menaklukkan Madiun.
KOMENTAR