Pernah Menolak Dimadu Bung Karno, Inilah Gusti Noeroel, Putri Mangkunegaraan Simbol Pemersatu Dinasti Mataram Islam

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Putri Mangkunegaran, Gusti Noeroel, disebut sebagai simbol perekat dinasti Mataram Islam. Sosoknya yang pintar memikat Bung Karno.
Putri Mangkunegaran, Gusti Noeroel, disebut sebagai simbol perekat dinasti Mataram Islam. Sosoknya yang pintar memikat Bung Karno.

Putri Mangkunegaran, Gusti Noeroel, disebut sebagai simbol perekat dinasti Mataram Islam. Sosoknya yang pintar memikat Bung Karno.

Intisari-Online.com -Saking cantik dan pintarnya sosok ini, Bung Karno sampai jatuh cinta kepadanya.

Tapi cinta Bung Karno bertepuk sebelah tangan, karena wanita itu menolak untuk dimadu.

DialahGusti Raden Ajeng Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Kusumawardhani atau yang lebih dikenal sebagai Gusti Noeroel.

Bagaimana cerita kecemelangan permata Mangkunegaraan ini?

Mari kita mundur ke janji yang pernah dilontarkan Raden Mas Said alias Pangeran Samber Nyawa alias Mangkunegara I.

Penguasa pertama Kadipaten Mangkunegaran itu pernah berikrar bahwa keturunannya tidak akan menikah dengan keturunan Hamengkubuwono.

Ikrar itu ternyata cuma sampai berhenti ke keturunannya yang keenam.

Keturunannya yang ketujuh, Raden Mas Soerjosoeparto alias Mangkunegara VII, melamar Gusti Raden Ajeng (GRA) Mursudarijah.

Dia adalah putri dari Keraton Yogyakarta, yang kelak menyandang gelar Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Timur.

Pernikahan mereka pada 6 September 1920 dirayakan dengan meriah, dan menjadi simbol perekat antara dua kerajaan tersebut.

Setahun kemudian, pasangan ini dikaruniai seorang anak.

Kelak sang anak akan menjadi salah satu tokoh yang penting dalam sejarah Indonesia.

Gusti Raden Ajeng Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Kusumawardhani, demikian nama itu disematkan KGPAA Mangkunegara VII kepada putrinya yang lahir pada 17 September 1921.

Kelahiran Gusti Noeroel, panggilan akrab sang putri, kelak menjadi simbol kemunculan generasi baru yang lahir sebagai simbol kerekatan dua keluarga dan dua tradisi.

Gusti Noeroeldibesarkan di tengah revolusi sosial dan pergerakan nasional.

Ketika itu pemerintah kolonial Belanda sedang menjalankan politik etis, yang membuka kesempatan bagi para bangsawan pribumi untuk mendapat pendidikan layaknya seorang Belanda.

Dengan kesempatan tersebut, keluarganya menyekolahkan Gusti Noeroel di sekolah Belanda.

Dia memulai pendidikannya dari Frobelschool (setara Taman Kanak-kanak) Pamardi Siwi dan Sekolah Pamardi Putri.

Keluarganya memberikannya pendidikan di luar tembok keraton supaya ia terbiasa bergaul dengan orang-orang biasa.

Dari sanalah, Gusti Noeroel mulai mengenyam pendidikan di sekolah yang menggunakan bahasa Belanda.

Mulai dari Europeesche Lagere School, MULO, hingga ke Van Deventer School yang setara AMS pada saat itu.

Di sekolah-sekolah tersebut, Gusti Noeroel mulai diperkenalkan pada kehidupan dan tradisi modern yang berkiblat ke Barat.

Pergaulannya dengan guru-guru Eropa juga membentuk karakter dari sosoknya.

Gusti Noeroel tidak hanya menikmati pendidikan Belanda.

Dengan dukungan keluarga, dia banyak mencicipi sejumlah budaya Barat seperti memacu kuda, tenis, hingga renang.

Meskipun ia mendapat pendidikan Belanda, Mangkunegara VII dan GKR Timur tetap mendidik putri mereka dengan nilai-nilai tradisi Jawa.

Di usianya yang ketujuh bulan, Gusti Noeroel mengikuti tradisi tedak siten, sebuah upacara turun tanah yang memperkenalkan Kanjeng Gusti kepada lingkungan sekitarnya.

Kerajaan juga membiasakan sang putri dengan makanan, pakaian, dan tata krama, serta mengajarkan berbagai tarian Jawa kepadanya.

Beberapa sejarawan menggambarkan GustiNoeroel sebagaianak yang berbakti kepada orang tuanya.

Kelak pula nilai tradisi ini menumbuhkan identitas Gusti Noeroel yang erat dengan nilai tradisional di tengah modernisasi Belanda.

Gusti Noeroel tumbuh sebagai gadis yang berparas jelita.

Kecantikan dan pendidikan yang dimiliki sang putri membuatnya sangat dikenal oleh tokoh pergerakan nasional.

Beberapa dari mereka pun menaruh hati kepada sang putri.

Mulai dari Sjahrir, Djatikoesoemo (putra Paku Buwono X), Hamengkubuwono IX, dan bahkan Sukarno pernah mencoba menggadaikan cinta kepadanya.

Namun, semua tawaran cinta itu ditolak oleh sang putri.

Khusus Hamengkubuwono dan Sukarno, sang putri menolak dimadu oleh pria yang sudah beristri.

Pada akhirnya, pilihan cintanya pun jatuh kepada Raden Mas Soerjo Soejarso, seorang perwira berpangkat letnan kolonel yang masih keturunan bangsawan.

Namun, sejatinya kehidupan Gusti Noeroel lebih dari sekadar percintaan.

Sang putri tetaplah menjalankan tanggung jawabnya sebagai perwakilan Mangkunagaran di berbagai acara resmi.

Dari menyambut tamu pesta perkawinan, peletakkan batu pertama, hingga menghadiri pelantikan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Selain acara di lingkungan kerajaan, rasa tanggung jawab dan kepiawaian dalam menari telah membawanya melanglang buana hingga ke negeri Belanda.

Menghadiri pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Bernhard, Gusti Noeroel membawakan hadiah spesial dengan menampilkan tari Sari Tunggal di depan para hadirin di sana.

Iringan musik tariannya disiarkan langsung dari stasiun radio Solosche Radio Vereeniging (SRV) di Surakarta.

Kendati siaran musik itu sempat terganggu, dia melanjutkan menari dengan bantuan ketukan dari Gusti Kanjeng Ratu Timur, ibundanya.

Dia berlatih menari selama delapan bulan selama berada di kapal dalam perjalanannya menuju Belanda.

Usaha itu tidak sia-sia, Putri Juliana sangat terpukau dan mengaku tidak pernah melihat tarian seindah itu.

Penampilannya menarik banyak perhatian, bahkan didokumentasikan oleh majalah LIFE yang mewartakan foto tariannya pada 25 Januari 1937.

Gusti Noeroel tidak hanya menjadi perekat dua kerajaan, tetapi juga menjadi perekat antara dua tradisi, yaitu antara tradisi Jawa dan tradisi Barat.

Dididik di sekolah Belanda memang membuatnya menjadi perempuan yang berpendirian teguh dan tidak mau hidupnya semata-mata dibatasi oleh lelaki.

Akan tetapi, hal tersebut tidak semata-mata membuat Gusti Noeroel melupakan nilai-nilai tradisi Jawa yang ditanamkan oleh keluarganya.

Tari Sari Tunggal yang dibawakannya di Belanda seakan menjadi bukti bahwa tradisi tidak semata-mata harus dilupakan di tengah dunia yang termodernisasi.

Artikel Terkait