Durian dan Kopi Sigi: Kekayaan Alam yang Lestari dan Lezat

Ade S

Editor

Durian dan kopi Sigi bukan hanya lezat, tapi juga ramah lingkungan. Artikel ini mengungkap bagaimana Kabupaten Sigi memuliakan hasil alamnya.
Durian dan kopi Sigi bukan hanya lezat, tapi juga ramah lingkungan. Artikel ini mengungkap bagaimana Kabupaten Sigi memuliakan hasil alamnya.

Intisari-Online.com -Kabupaten Sigi di Sulawesi Tengah memiliki keunikan tersendiri.

Meski tidak memiliki wilayah laut, kabupaten ini justru memiliki kekayaan alam berupa bukit dan pegunungan yang terbentuk karena aktivitas sesar Palu―Koro selama jutaan tahun.

Di daerah pegunungan ini, masyarakat Sigi, khususnya di Kecamatan Marawola Barat, berusaha memanfaatkan sumber daya alamnya secara optimal dan berkelanjutan.

Salah satunya adalah dengan mengembangkan dua komoditas unggulan, yaitu durian dan kopi.

Salah seorang petani kopi di Desa Dombu, Kecamatan Marawola Barat, bernama Ismael. Dia bercerita bahwa sebagian besar kopi yang ditanam di Dombu adalah jenis robusta.

Namun, jenis ini hanya bisa dipanen tiga kali dalam setahun. Oleh karena itu, dia mulai menanam jenis arabika sejak 2017 yang bisa dipanen hingga 30 kali dalam setahun.

Ismael bangga dengan kopi hasil kebunnya. Dia bahkan memperlihatkannya di sebuah acara di gedung serba guna di Desa Wayu, Kecamatan Marowala Barat, Kabupaten Sigi.

Di sana, dia bekerja sama dengan para penggiat kopi dan barista dari kota Palu untuk memperkenalkan kopi Dombu kepada pengunjung. Kerjasama ini ternyata meningkatkan produksi dan pendapatannya.

"Saya ingin ada investasi bisa masuk di Marawola Barat kepada petani kopi seperti saya," tutur Ismael. "Saya butuh bantuan untuk alat-alat panen dan bayar [upah] teman-teman [di kebun]."

Untuk menarik minat investor, Pemerintah Kabupaten Sigi mengadakan Festival Lestari V bersama Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL). Festival ini bertujuan untuk mempromosikan usaha kecil menengah milik masyarakat Sigi.

Namun, investasi harus tetap memperhatikan dampak lingkungan. Sebab, Kabupaten Sigi memiliki 74 persen wilayahnya sebagai bagian dari Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang merupakan cagar biosfer.

Oleh karena itu, Sigi harus menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian alam.

Budidaya kopi di Dombu sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Jenis arabika bahkan disebut sebagai 'kopi belanda' oleh masyarakat, karena dulu banyak ditanam oleh Belanda.

Ismael mengaku bahwa perubahan iklim sangat mempengaruhi pertanian kopi.

Menurutnya, dulu kopi robusta lebih sering dipanen daripada sekarang, tetapi sekarang malah sering gagal panen karena daun-daun rontok dan tidak berbuah. Itulah sebabnya dia beralih ke jenis arabika.

Kopi adalah minuman yang cocok untuk bersantai. Saat saya sedang ngobrol dengan Ismael, dia bilang bahwa minum kopi lebih enak kalau disandingkan dengan durian.

Rasanya sangat lezat antara perpaduan kopi asam dari jenis arabika dengan durian yang manis.

Mungkin ada yang ragu untuk menikmati kopi dengan durian karena takut asam lambung naik.

Tapi dokter bilang boleh kok konsumsi kopi dan durian asal secukupnya saja, jangan berlebihan apalagi kalau asam lambung atau kafein sensitif.

Meski demikian, pendekatan menikmati kopi dan durian sekaligus adalah gaya bersantai ala orang Sigi.

Ketua Majelis Adat Kecamatan Marawola Barat Andi Lasippi mengatakan, karena masyarakat, khususnya suku Kaili sangat terbuka akan perubahan, sehingga melakukan pelbagai inovasi, salah satunya pada durian.

Durian khas Sigi tumbuh subur di pegunungan. Tidak hanya dibudidayakan warga, durian lokal khas Sigi―mereka menyebutnya durian njappo―tumbuh secara liar.

Oleh masyarakat, ketika hendak membuka lahan, biasanya pohon durian tidak ditebang agar terus memproduksi buah.

"Sehingga disebutnya durian lokal, njappo yang artinya asli. Orang-orang bisa konsumsi, makan, masak, yang mau juga bisa dibuat sayur, sekarang sudah punya nilai jual, terus dibiak, dilestarikan atau dikembangkan," kata Andi. Penjualan durian tidak hanya buahnya, tetapi juga benihnya.

Durian lokal di Sigi lebih kecil dan kulitnya lebih tebal dibandingkan durian montong, tetapi rasanya manis. Ketika matang di kebun, durian langsung jatuh dari pohon, bukan "dipaksa jatuh seperti durian lain," terang Andi.

Durian pun dimuliakan oleh masyarakat suku Kaili. Pohon durian dianggap sebagai makhluk hidup dan tidak boleh ditebang secara sembarangan.

"Sehingga, sampai sekarang dilestarikan. Bukan hanya dipetik tetapi juga di-giwu, didenda. Satu pohon ditebang bisa [dikenakan] delapan dulang karena pohon juga kehidupan, toh? Pohon adalah kehidupan," terang Andi.

Mereka punya kepercayaan bahwa durian diperkenalkan oleh makhluk mitologi. "Dulu kita belum kenal [durian], apa itu bisa dimakan atau tidak, itu pertama sekali. Lalu oleh seekor kuda, dibawa ke masyarakat. Dia makan," tutur Andi.

Kuda itu adalah salah satu penjelmaan Dompe, makhluk astral yang memberi petunjuk bagi masyarakat Kaili. Masyarakat mempelajari bahwa durian ternyata bisa dimakan.

Sejak saat itulah, durian pun dikonsumsi. "Mungkin dulu melihat durian―kulitnya berduri, tetapi ternyata ini banyak sekali manfaatnya. Selain dimakan mentah, dimasak," lanjutnya.

Hampir semua masyarakat desa di Kecamatan Marawola Barat memiliki kebun durian. Walau masyarakat membudidayakan tanaman lain seperti kopi, durian adalah tanaman utamanya di kebun.

Andi berani yakin, walaupun ada yang membeli benih durian khas Sigi dan ditanam di tempat lain, rasa buahnya tidak akan seenak di sini.

(Afkar Aristoteles Mukhaer)

Baca Juga: Desa Wayu, Surga Paralayang dengan Pemandangan yang Sangat Indah

Artikel Terkait