VOC mendapat angin segara ketika penerus Sultan Agung, Amangkurat I, menjalin bersahabatan dengan mereka. Mataram Islam pun diobok-obok.
Intisari-Online.com -VOC adalah lawan bagi Mataram Islam.
Hal itu terjadi saat kerajaan bercorak Islam yang berasal dari pedalaman Jawa itu dipimpin oleh Sultan Agung.
Tapi semua berubah setelah Sang Sultan meninggal dunia.
Anak dan penerusnya, Amangkuta I, mulai menjalin persahabatan dengan bangsa kulit putih, sementara sang cucu, Amangkurat II, semakin mendekatkannya.
Alih-alih memperkuat, VOC justru disebut-sebut sebagai penyebab mundurnya Mataram Islam.
Seperti disebut di awal, intervensi alias campur tangan VOC dimulai pada masa pemerintahan Amangkurat I (1645-1677).
Sejak saat itu, kondisi Mataram semakin tidak menentu.
Puncaknya adalah 1755 ketika terjadi Perjanjian Giyanti.
Perjanjian yang paling dikenang dalam sejarah Mataram Islam itu membuat kerajaan tersebut pecah jadi dua.
Yang satu berpusat di Surakarta dengan nama Kasunanan Surakarta, satu lagi berada di Yogyakarta dengan nama Kasultanan Yogyakarta.
Sepeninggal Sultan Agung pada 1645, takhta Mataram Islam jatuh ke tangan Amangkurat I.
Sultang Agung sangat anti terhadap Belanda, sementaraAmangkurat I tidak.
Dia juga dikenal sebagai raja yang kejam.
Amangkurat I juga sangat lunak terhadap Belanda, dan bahkan memilih bersekutu dengan VOC daripada meminta dukungan rakyatnya sendiri.
Sejak awal pemerintahannya, Amangkurat I melakukan perjanjian dengan VOC yang hakikatnya Mataram harus mengakui kekuasaan politik VOC di Batavia.
Setiap tahunnya, VOC juga mengirimkan utusan ke Mataram, yang pada akhirnya ikut campur urusan politik kerajaan.
Selama Amangkurat I berkuasa, terjadi banyak pemberontakan, salah satunya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Trunojoyo.
Dalam pemberontakan itu, Amangkurat I meninggal dalam pelarian untuk memintan bantuan VOC.
Setelah itu, putranya yang bernama Pangeran Adipati Anom terpaksa menjalin kerjasama dengan VOC untuk melumpuhkan Trunojoyo.
Trunojoyo berhasil dilumpuhkan dan takhta Kesultanan Mataram diberikan kepada Adipati Anom dengan gelar Amangkurat II.
Sebagai imbalan atas pemberian bantuan militernya, VOC pada 1677 dan 1678 memberikan tiga berkas kontrak baru kepada Amangkurat II.
Kontrak baru tersebut menyatakan bahwa batas daerah VOC sebelah timur mencapai Sungai Pamanukan.
Selain itu, seluruh biaya perang yang dikeluarkan VOC harus dibayar oleh Amangkurat II.
Apabila belum dapat dilunasi, semua pelabuhan di pantai utara sampai ujung paling timur Pulau Jawa harus digadaikan kepada VOC.
Ekspor beras Mataram dan impor barang-barang manufaktur serta tekstil juga menjadi monopoli VOC.
Secara berangsur, wilayah kerajaan menyempit akibat aneksasi yang dilakukan VOC sebagai imbalan atas intervensinya dalam pertentangan di kalangan keluarga kerajaan.
Intrik-intrik dan perselisihan di kalangan bangsawan keraton semakin menghebat setelah Amangkurat II meninggal.
Putranya yang bergelar Amangkurat III sempat menjadi raja, tetapi hanya bertahan selama dua tahun karena VOC menuduhnya terlibat dalam pemberian perlindungan kepada Untung Suropati.
Hal ini semakin mengundang campur tangan VOC dalam perebutan takhta Kerajaan Mataram.
VOC kemudian merekayasa agar paman Amangkurat III, Pangeran Puger, dapat menjadi raja dengan gelar Pakubuwono I.
Lagi-lagi, VOC meminta imbalan yang tertuang dalam kontrak atas jasanya membuat Pakubuwono I (1704-1719) menjadi raja.
Kontrak tersebut membuat Mataram kehilangan haknya atas Cirebon, Periangan, Sumenep, dan Pamekasan.
Serta pelayaran lautnya menjadi semakin terbatas.
Selama abad ke-18, VOC terus melakukan intervensi dalam pergantian penguasa Kerajaan Mataram.
Hal ini kemudian menjadi salah satu sebab meletusnya Perang Diponegoro (1825-1830).
Pada masa pemerintahan raja-raja berikutnya, kondisi Kesultanan Mataram semakin tidak menentu.
Pergolakan pun akhirnya harus diakhiri melalui Perjanjian Giyanti, yang ditandatangani pada 13 Februari 1755.
Perjanjian ini menyebabkan Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua kekuasaan, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Perjanjian Giyanti sendiri merupakan bentuk politik adu domba VOC dengan memanfaatkan perselisihan antara Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwono III.
Setelah itu, VOC masih terus memecah belah kekuasaan Mataram yang berakhir dengan Perjanjian Salatiga (1757), yang membagi Kasunanan Surakarta dengan Pura Mangkunegaran.
Selanjutnya, pada 1813, Kasultanan Yogyakarta dibagi juga dengan Pura Pakualaman.
Dan hampir di semua proses suksesi dan perpecahan itu VOC terlihat di dalamnya.