Intisari-online.com -Freeport adalah salah satu perusahaan pertambangan terkemuka di dunia yang beraktivitas di Papua, Indonesia.
Freeport memiliki tambang emas dan tembaga yang sangat kaya di Pegunungan Grasberg, yang merupakan salah satu sumber daya mineral terbesar di dunia.
Namun, bagaimana latar belakang Freeport di Indonesia? Bagaimana perusahaan asal Amerika ini menemukan dan mengelola tambang tembaga terbesar di dunia?
Latar belakang Freeport di Indonesia bermula dari penemuan sumber daya alam berupa tambang emas dan tembaga oleh orang asing.
Tambang emas dan tembaga Papua ditemukan melalui penjelajah orang asing di Papua, yaitu Jean Jacques Dozy seorang kepala ahli geologi minyak dan bumi di Nedrlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM).
Dozy kemudian menemukan bagian dari pegunungan yang dinamai Ertsberg yang mengandung bijih dalam jumlah sangat besar sehingga tidak ada batuan lain disana kecuali berupa bijih.
Dua kilometer dari situ, Dozy dan kawan, kawannya menemukan Gerstberg yang digambarkan sebagai tempat penyimpanan emas terbesar di dunia.
Contoh batuan yang dibawa Dozy kemudian dianalisa dan dibuat laporannya yang diterbitkan pada Jurnal Geologi Leiden pada 1939.
Laporan ekspedisi Dozy dan teman temannya kemudian tertimbun karena terjadi perang dunia II.
Laporan tersebut didapatkan oleh perusahaan tambang asal Amerika, yaitu Freeport Sulphur.
Pada tahun 1959 terjadi pertemuan antara Forbes Wilson, direktur eksplorasi Freeport Sulphur Company dan Jan Van Gruisen, Managing Director Oost Maatchappij yang memberikan informasi mengenai laporan Dozy tersebut.
Baca Juga: Di Balik Peristiwa Sidang Pencemaran Nama Baik Luhut: Bagaimana Sejarah Freeport Berdiri Di Papua?
Oost Matschappij yaitu perusahaan Belanda yang menambang batu bara di Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara.
Pertemuan tersebut menghasilkan ekspedisi Freeport ke Ertsberg.
Penjelajahan yang dipimpin oleh Wilson tersebut menghasilkan penemuan berupa perkiraan cadangan 33 juta ton bijih besi dan 2,5 persen kandungan tembaga.
Pada tahun 1967, Freeport menandatangani Kontrak Karya (KK) pertama dengan pemerintah Indonesia untuk jangka waktu 30 tahun setelah beroperasi.
Pada tahun 1972, Freeport memulai produksi penambangan dan pengolahan bijih.
Pengapalan konsentrat dilakukan pada tahun berikutnya.
Pada tahun 1988, Freeport menemukan cadangan Grasberg, yang merupakan tambang tembaga terbesar di dunia dengan kandungan emas yang tinggi.
Pada tahun 1991, Freeport menandatangani Kontrak Karya (KK) kedua, yang merupakan pembaharuan KK pertama, untuk jangka waktu 30 tahun dengan hak perpanjangan sampai dengan 2 x 10 tahun.
Freeport juga melakukan berbagai investasi dan program pengembangan di Papua, seperti pembangunan kota Kuala Kencana di dataran rendah sebagai fasilitas pendukung operasi produksi penambangan pada tahun 1995.
Penyaluran dana kemitraan 1% dari penjualan perusahaan bagi pengembangan masyarakat lokal yang dikelola institusi masyarakat pada tahun 1996.
Penyelesaian dan pengoperasian PT Smelting di Gresik Jawa Timur sebagai fasilitas pemurnian yang menghasilkan Katoda Tembaga pertama di Indonesia pada tahun 1997, dan investasi proyek pengembangan bawah tanah sebagai kelanjutan dari tambang terbuka Grasberg yang berakhir di tahun 2018.
Pada tahun 2018, Freeport menandatangani Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang merupakan perubahan bentuk dan perpanjangan usaha pertambangan sampai dengan 2041.
Pada tahun yang sama, 51,24% saham perusahaan dimiliki oleh pihak nasional Indonesia.
Freeport juga memulai pembangunan tambahan fasilitas pemurnian tembaga dan fasilitas pemurnian logam berharga.
Itulah latar belakang Freeport, bagaimana perusahaan Amerika menemukan dan mengelola tambang tembaga terbesar di dunia di Papua, Indonesia.
Freeport telah berkontribusi besar bagi perekonomian dan pembangunan Indonesia, namun juga menghadapi berbagai tantangan dan kontroversi sepanjang latar belakangnya.
Freeport tetap berkomitmen untuk menjalankan operasi pertambangan yang bertanggung jawab, berkelanjutan, dan bermanfaat bagi semua pihak.