Podcast-nya bersama Fatia Maulidiyanti menyeret Haris Azhar dalam kasus dugaan pencemaran nama baik Luhut Binsar Panjaitan.
Intisari-Online.com -Menteri Koordinator Bindang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan datang sebagai saksi dalam persidangan kasus dugaan pencemaran nama baik dirinya pada Kamis (8/6) kemarin.
Sebagai terdakwa dalam kasus ini adalah Haris Azhar, aktivis HAM sekaligus Direktur Eksekutif Lokataru.
Kasus ini berasal dari sebuah podcast di mana Haris sebagai pembawa acara, sedangkan bintang tamunya adalah Fatia Maulidiyanti, koordinator KontraS.
Dalam podcast tersebut, keduanya diduga menyebut bahwa Luhut "bermain" tambang di Papua.
Singkat cerita, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik.
Sebenarnya, apa saja unsur-unsur yang memenuhi syarat pencemaran nama baik?
Pencemaran nama baik menjadi kasus yang semakin banyak terjadi saat ini.
Akses internet dan sosial media yang semakin mudah dijangkau, serta kebebasan berekspresi yang tidak bertanggung jawab membuat pencemaran nama baik makin lumrah ditemukan.
Dalam hukum positif Indonesia, pencemaran nama baik diatur dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kedua undang-undang ini mengatur hal-hal yang dikategorikan sebagai pencemaran nama baik berikut ancaman pidananya.
KUHP
Dalam KUHP, pencemaran nama baik termasuk dalam bab penghinaan.
Pencemaran nama baik dituangkan dalam beberapa pasal, yakni:
- Pasal 310 ayat 1 tentang pencemaran secara lisan,
- Pasal 310 ayat 2 tentang pencemaran secara tertulis,
- Pasal 311 tentang fitnah, Pasal 315 tentang penghinaan ringan,
- Pasal 317 tentang pengaduan palsu/fitnah,
- Pasal 318 tentang persangkaan palsu,
- Pasal 320 tentang pencemaran kepada orang yang sudah mati,
- Pasal 321 tentang penghinaan atau pencemaran kepada orang yang sudah mati di depan umum.
Merujuk pada Pasal 310 KUHP, pencemaran nama baik adalah perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang dimaksudkan agar hal itu diketahui umum.
Pencemaran nama baik bisa dilaporkan, baik pencemaran secara lisan maupun tertulis.
Bahkan, penghinaan atau pencemaran kepada orang yang sudah meninggal pun bisa dipidana.
Pelaporan dapat dilakukan oleh keluarga sedarah atau pun semenda dalam garis lurus atau menyimpang sampai derajat kedua.
Ancaman pidana terhadap pelaku pencemaran nama baik berbeda-beda, mulai dari pidana penjara selama sebulan dua minggu hingga maksimal empat tahun.
UU ITE
Aturan yang mengatur pencemaran nama baik selanjutnya adalah UU Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pencemaran nama baik melalui media elektronik menjadi perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang berbunyi:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Ancaman pidana terhadap pelaku pencemaran nama baik di dalam undang-undang ini lebih berat dibanding KUHP.
Dalam UU ITE, pelaku pencemaran nama baik dapat dipidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Jika pencemaran yang dilakukan mengakibatkan kerugian bagi orang lain maka hukuman yang dijatuhkan lebih berat, yakni pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp12 miliar.
SKB Pedoman Implementasi UU ITE
Dalam pelaksanaannya, Pasal 27 ayat 3 UU ITE sering menimbulkan kontroversi dan penafsiran yang berbeda di masyarakat.
Atas dasar inilah, terbit Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri Nomor 229, 154, KB/2/VI/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam SKB ini, sebuah perbuatan bukan termasuk penghinaan atau pencemaran nama baik jika konten yang ditransmisikan, didistribusikan, atau dibuat dapat diakses tersebut berupa:
- penilaian,
- pendapat,
- hasil evaluasi,
- atau sebuah kenyataan.
Apabila fakta yang dituduhkan merupakan perbuatan yang sedang dalam proses hukum maka fakta tersebut harus dibuktikan dulu kebenarannya.
Setelah itu, aparat penegak hukum baru dapat memproses pengaduan atas delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sesuai UU ITE.
Dalam SKB ini ditegaskan, fokus pemidanaan Pasal 27 ayat 3 UU ITE bukan dititikberatkan pada perasaan korban, melainkan perbuatan pelaku yang dilakukan secara sengaja.
Selain itu, delik pasal tersebut adalah delik aduan absolut sehingga harus korban sendiri yang melapor, kecuali korban masih di bawah umur atau dalam perwalian.
Korban sebagai pelapor harus merupakan orang perseorangan dengan identitas spesifik, bukan institusi, korporasi, profesi, atau jabatan.