Mengungkap Sosok Soeharto, Dari Anak Petani Hingga Jadi Presiden yang Berulang Tahun Hari Ini

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Foto masa lalu Presiden Soeharto yang berulang tahun hari ini.
Foto masa lalu Presiden Soeharto yang berulang tahun hari ini.

Intisari-online.com -Soeharto, yang terlahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta pada tanggal 8 Juni 1921, adalah presiden Indonesia yang kedua yang berkuasa selama 32 tahun (1967-1998).

Dia menggantikan Soekarno setelah terjadinya Gerakan 30 September 1965 yang diduga dilakukan oleh PKI.

Soeharto dikenal sebagai "The Smiling General" di dunia internasional karena raut mukanya yang sering tersenyum.

Namun juga dianggap sebagai diktator oleh sebagian besar rakyat Indonesia karena tindakan represif dan korupsi yang terjadi selama masa pemerintahannya.

Soeharto berasal dari keluarga petani miskin yang tinggal di desa.

Ayahnya bernama Kertosudiro dan ibunya bernama Sukirah. Ketika Soeharto masih bayi, ayahnya menceraikan ibunya dan menikah lagi dengan seorang wanita lain.

Soeharto kemudian diasuh oleh kakak perempuan ayahnya.

Soeharto tidak pernah mengetahui siapa ayah kandungnya, meskipun ada spekulasi bahwa dia adalah anak dari seorang bangsawan dari trah Hamengkubowono II.

Soeharto selalu menolak spekulasi ini dan mengklaim bahwa dia hanyalah anak desa biasa.

Soeharto menempuh pendidikan dasar di sekolah rakyat di desanya.

Dia kemudian melanjutkan ke sekolah lanjutan pertama di Wuryantoro, Wonogiri, tetapi tidak tamat karena harus berhenti untuk membantu keluarganya.

Baca Juga: Apa Itu Radithor yang Bikin Sosok Eben Byers Alami Rahang Lepas?

Pada tahun 1940, Soeharto mendaftar ke sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah, dan lulus sebagai siswa terbaik dengan pangkat kopral.

Dia kemudian bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL, dan bertugas di berbagai daerah di Jawa dan Sumatera.

Ketika Jepang menguasai Indonesia pada tahun 1942, Soeharto beralih ke pasukan Jepang, PETA (Pembela Tanah Air), dan menjadi komandan batalyon di Banyumas.

Dia terlibat dalam beberapa pertempuran melawan gerilyawan Indonesia yang menentang Jepang, seperti di Blora dan Kediri.

Setelah Jepang menyerah pada Sekutu pada tahun 1945, Soeharto bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan berjuang melawan Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia.

Dia naik pangkat dengan cepat dan menjadi komandan brigade di Surakarta pada tahun 1948.

Pada tahun 1949, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah, putri dari seorang bangsawan Solo yang bernama KRMT Soemoharyomo.

Mereka dikaruniai enam anak, yaitu Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1950, Soeharto melanjutkan karier militernya dan menjadi komandan resimen di Yogyakarta pada tahun 1954.

Dia kemudian dipindahkan ke Jakarta pada tahun 1957 dan menjadi komandan batalyon infanteri di Cimahi pada tahun 1959.

Pada tahun 1960, dia menjadi komandan Korem di Diponegoro dan naik pangkat menjadi kolonel pada tahun 1962.

Baca Juga: Kesuksesan Sosok Megawati Soekarnoputri, Pemimpin PDI-P yang Menagkan Pemilu 1999 Zaman Orde Baru

Pada tahun 1963, dia menjadi komandan Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) dan naik pangkat menjadi mayor jenderal pada tahun 1965.

Pada tanggal 30 September 1965, terjadi sebuah peristiwa yang mengubah sejarah Indonesia, yaitu Gerakan 30 September (G30S), yang diduga merupakan upaya kudeta oleh PKI untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno.

Dalam peristiwa ini, enam jenderal dan satu perwira tinggi TNI dibunuh oleh sekelompok tentara yang menyebut diri mereka Gerakan 30 September.

Soeharto, yang saat itu berada di Jakarta, berhasil mengambil alih kendali militer dan menumpas G30S dalam waktu singkat.

Dia kemudian menuduh PKI sebagai dalang di balik peristiwa ini dan melancarkan operasi militer untuk menangkap dan membunuh anggota dan simpatisan PKI di seluruh Indonesia.

Operasi ini diperkirakan menewaskan antara 100.000 hingga 2 juta orang, terutama di Jawa, Bali, dan Sumatera.

Setelah G30S, Soeharto mulai mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, yang kondisinya semakin melemah akibat tekanan politik dan kesehatan.

Soeharto membentuk sebuah kabinet baru yang disebut Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat) pada tahun 1966 dan menjabat sebagai menteri pertahanan dan keamanan.

Dia juga mendapatkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Soekarno, yang memberinya wewenang untuk mengambil tindakan apa pun yang diperlukan untuk mengembalikan keamanan dan ketertiban nasional.

Dengan Supersemar ini, Soeharto membubarkan PKI dan organisasi-organisasi sayapnya, serta membatasi kekuasaan partai-partai politik lainnya.

Dia juga memulai program ekonomi stabilisasi dengan bantuan dari para ahli Barat yang dikenal sebagai "Berkelompok" atau "The Berkeley Mafia".

Baca Juga: Kini Tersandung Hoaks Mualaf, Sosok Neil Armstrong Ternyata Pernah Tersandung Teori Konspirasi Paling Kontroversial Ini

Pada tahun 1967, MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) menggelar sidang umum dan mencabut mandat Soekarno sebagai presiden.

Soeharto kemudian ditunjuk sebagai pejabat presiden sampai pemilihan presiden berikutnya pada tahun 1968.

Pada tanggal 27 Maret 1968, MPR secara aklamasi memilih Soeharto sebagai presiden Indonesia yang kedua.

Soeharto kemudian menyatakan bahwa Indonesia telah memasuki era Orde Baru, yang berbeda dengan era Orde Lama di bawah Soekarno.

Sebagai presiden, Soeharto berusaha untuk membangun kembali ekonomi Indonesia yang hancur akibat konfrontasi dengan Malaysia, Ganyang Malaysia, dan G30S.

Dia menerapkan kebijakan-kebijakan liberalisasi ekonomi, seperti membuka investasi asing, meningkatkan ekspor komoditas, mendorong pertumbuhan sektor swasta, dan mengurangi subsidi pemerintah.

Dia juga mendapatkan bantuan dari negara-negara Barat dan lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia.

Kebijakan-kebijakan ini berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata sekitar 7% per tahun selama dua dekade terakhir masa pemerintahannya.

Indonesia juga berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984 dan menjadi anggota OPEC pada tahun 1967.

Di bidang politik, Soeharto menguasai semua lembaga negara dengan sistem dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), yang memberikan peran ganda kepada militer sebagai penjaga keamanan dan pembangunan nasional.

Artikel Terkait