Untuk menyelesaikan konflik ini, VOC menawarkan perdamaian kepada Pangeran Mangkubumi dan mengadakan perundingan yang berakhir dengan Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
Dalam perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi menjadi dua bagian.
Yaitu bagian timur diberikan kepada Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwana I dan mendirikan Kesultanan Yogyakarta.
Sedangkan bagian barat tetap dikuasai oleh Paku Buwono III yang mempertahankan Kasunanan Surakarta.
Perjanjian Giyanti merupakan titik balik dalam sejarah Mataram Islam karena menandai berakhirnya kekuasaan tunggal raja Mataram atas seluruh Jawa.
Selain itu, perjanjian ini juga memperkuat pengaruh VOC di Jawa karena mereka menjadi penengah dan penjamin perdamaian antara kedua belah pihak.
Dengan demikian, VOC dapat mengendalikan perdagangan dan politik di Jawa dengan lebih mudah.
Perpecahan Mataram Islam menjadi Surakarta dan Yogyakarta tidak hanya berdampak pada aspek politik dan ekonomi, tetapi juga pada aspek budaya dan sosial.
Kedua kerajaan ini memiliki ciri khas masing-masing dalam hal seni, sastra, arsitektur, adat istiadat, bahasa, dan lain-lain.
Meski demikian, kedua kerajaan ini tetap menjalin hubungan baik sebagai saudara serumpun yang berasal dari akar yang sama.
Setelah Perjanjian Giyanti, Surakarta dan Yogyakarta mengalami perkembangan yang berbeda-beda.
Baca Juga: Inilah Peristiwa yang Menandai Berdirinya Kerajaan Mataram Islam
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR