Intisari-online.com - Kerajaan Mataram Islam adalah salah satu kerajaan besar di Jawa yang mencapai puncak kejayaannya di bawah Sultan Agung (1613-1645).
Namun, setelah kematiannya, kerajaan ini mengalami kemunduran akibat pemberontakan, perang saudara, dan campur tangan VOC.
Salah satu peristiwa penting yang menandai perpecahan Mataram Islam adalah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
Perjanjian Giyanti adalah sebuah perjanjian damai antara VOC dan dua pihak yang berseteru dalam Mataram Islam, yaitu Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi.
Perjanjian ini mengakhiri Perang Jawa III (1746-1755) yang melibatkan VOC, Mataram Surakarta, Mataram Yogyakarta, dan Cirebon.
Paku Buwono III adalah raja pertama Mataram Surakarta yang dinobatkan oleh pejabat VOC sesuai wasiat ayahnya, Paku Buwono II.
Ia harus menghadapi pemberontakan yang dipimpin oleh pamannya sendiri, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa.
Keduanya merasa berhak atas takhta Mataram dan menolak kebijakan Paku Buwono II yang menyerahkan wilayah dan kedaulatan Mataram kepada VOC.
Pangeran Mangkubumi merupakan putra Sunan Amangkurat IV, raja Mataram kedelapan, dari istri selir bernama Mas Ayu Tejawati.
Ketika Kerajaan Mataram Islam diperintah oleh Sunan Pakubuwono III dari Surakarta, Pangeran Mangkubumi melakukan pemberontakan karena menolak persekutuan antara Mataram dan VOC.
Ia bahkan sempat menobatkan diri sebagai Paku Buwono III di daerah Kabanaran bersama-sama dengan penobatan Paku Buwono III di Surakarta.
Untuk menyelesaikan konflik ini, VOC menawarkan perdamaian kepada Pangeran Mangkubumi dan mengadakan perundingan yang berakhir dengan Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
Dalam perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi menjadi dua bagian.
Yaitu bagian timur diberikan kepada Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwana I dan mendirikan Kesultanan Yogyakarta.
Sedangkan bagian barat tetap dikuasai oleh Paku Buwono III yang mempertahankan Kasunanan Surakarta.
Perjanjian Giyanti merupakan titik balik dalam sejarah Mataram Islam karena menandai berakhirnya kekuasaan tunggal raja Mataram atas seluruh Jawa.
Selain itu, perjanjian ini juga memperkuat pengaruh VOC di Jawa karena mereka menjadi penengah dan penjamin perdamaian antara kedua belah pihak.
Dengan demikian, VOC dapat mengendalikan perdagangan dan politik di Jawa dengan lebih mudah.
Perpecahan Mataram Islam menjadi Surakarta dan Yogyakarta tidak hanya berdampak pada aspek politik dan ekonomi, tetapi juga pada aspek budaya dan sosial.
Kedua kerajaan ini memiliki ciri khas masing-masing dalam hal seni, sastra, arsitektur, adat istiadat, bahasa, dan lain-lain.
Meski demikian, kedua kerajaan ini tetap menjalin hubungan baik sebagai saudara serumpun yang berasal dari akar yang sama.
Setelah Perjanjian Giyanti, Surakarta dan Yogyakarta mengalami perkembangan yang berbeda-beda.
Baca Juga: Inilah Peristiwa yang Menandai Berdirinya Kerajaan Mataram Islam
Surakarta cenderung lebih konservatif dan loyal terhadap VOC, sedangkan Yogyakarta lebih progresif dan berani melawan VOC.
Surakarta dipimpin oleh Paku Buwono III hingga tahun 1788. Ia dikenal sebagai raja yang gemar berburu dan mengoleksi senjata.
Ia juga membangun keraton baru di Surakarta yang disebut Keraton Surakarta Hadiningrat.
Ia digantikan oleh putranya, Paku Buwono IV, yang memerintah hingga tahun 1820. Ia adalah raja yang bijaksana dan berwibawa.
Juga dikenal sebagai penganut agama Islam yang taat dan ahli dalam ilmu tasawuf.
Yogyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwana I hingga tahun 1792. Ia adalah raja yang visioner dan berjiwa besar.
Dia berhasil membangun keraton baru di Yogyakarta yang disebut Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Juga berhasil mempertahankan wilayahnya dari serangan VOC dan sekutunya. Ia digantikan oleh putranya, Sultan Hamengkubuwana II, yang memerintah hingga tahun 1812.