Untuk itu, mereka menciptakan gerakan bela diri sederhana dengan menirukan gerakan binatang di sekitarnya.
Gerakan itu kemudian berkembang seiring dengan keterampilan suku-suku Indonesia dalam menggunakan parang, perisai, dan tombak.
Pada masa Kerajaan Sriwijaya, seni bela diri asli Indonesia ini diperkirakan telah dikuasai oleh seluruh penduduk Nusantara.
Pada zaman kerajaan, kemampuan bela diri yang tinggi memang sangat diperlukan dalam mempertahankan kekuasaan atau wilayah supaya tidak ditaklukkan kerajaan lain.
Untuk itu, para jawara atau ahli bela diri memiliki tempat yang tinggi di tengah masyarakat karena dianggap sebagai tempat untuk berlindung.
Antara tahun 1019-1041, atau pada masa Kerajaan Kahuripan yang dipimpin oleh Prabu Airlangga, istilah seni bela diri pencak silat disebut dengan Eh Hok Hik, yang berarti maju selangkah dan memukul.
Sayangnya, catatan tertulis mengenai asal mula silat sulit ditemukan karena tradisi silat hanya diturunkan secara lisan.
Sejarah silat juga dikisahkan melalui cerita legenda yang beragam dari satu daerah ke daerah lain di Indonesia.
Bukti adanya seni bela diri pada masa kerajaan bisa dilihat dari berbagai artefak senjata yang ditemukan dari masa Hindu-Buddha.
Selain itu, pada pahatan relief-relief di Candi Prambanan dan Borobudur, terdapat sikap-sikap kuda-kuda silat.
Perkembangan silat di Indonesia mulai tercatat pada abad ke-14, ketika seni bela diri ini diajarkan bersama dengan pelajaran agama di pesantren.
Ketika bangsa asing mulai mengincar kekayaan Indonesia, silat menjadi bagian dari pendidikan bela negara untuk menghadapi bangsa penjajah.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR