Intisari-online.com - Kerajaan Blambangan adalah kerajaan Hindu terakhir di Jawa yang berlokasi di ujung timur pulau ini, khususnya di wilayah Banyuwangi.
Kerajaan ini memiliki sejarah yang panjang dan penuh dengan perjuangan melawan berbagai penjajah, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Salah satu musuh utama dari Blambangan adalah Kerajaan Mataram Islam yang berusaha untuk menguasai seluruh tanah Jawa.
Kerajaan Blambangan muncul pada akhir abad ke-15 sebagai salah satu vasal dari Kerajaan Majapahit yang mulai mengalami kemunduran.
Kerajaan ini menjadi tempat pelarian bagi Bhre Wirabhumi, putra raja Majapahit yang gagal merebut takhta dari saudaranya.
Bhre Wirabhumi kemudian mendirikan kerajaan sendiri di Blambangan dengan nama Prabu Satmata.
Setelah Majapahit runtuh pada awal abad ke-16, Blambangan menjadi kerajaan Hindu yang mandiri dan bertahan dari serangan-serangan dari kerajaan-kerajaan Islam yang bermunculan di Jawa, seperti Demak, Pajang, dan Mataram.
Blambangan juga menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan Hindu di Bali, seperti Gelgel, Buleleng, dan Mengwi.
Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Ki Ageng Pemanahan pada tahun 1586 memiliki ambisi untuk menyatukan seluruh tanah Jawa di bawah kekuasaannya.
Salah satu raja Mataram yang paling agresif dalam melakukan ekspansi adalah Sultan Agung (1613-1645) yang berhasil menaklukan hampir seluruh Jawa bagian tengah dan timur, kecuali Batavia yang dikuasai oleh VOC dan Blambangan yang masih mempertahankan tradisi Hindu.
Jalannya Pertempuran
Baca Juga: Warisan Mataram Islam Yang Dibangun Pada Masa Sultan Agung Porak-poranda Di Masa Amangkurat I
Sultan Agung menyerang Blambangan sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 1625, 1631, dan 1638. Namun, setiap kali serangannya berhasil dipatahkan oleh pasukan Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Silarong.
Pangeran Silarong adalah putra dari Prabu Satmata yang menjadi raja Blambangan setelah ayahnya meninggal pada tahun 1624.
Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1625 ketika Sultan Agung mengirimkan pasukan sebanyak 20.000 orang untuk menyerbu Blambangan.
Pasukan Mataram berhasil menembus pertahanan Blambangan dan mencapai ibu kota kerajaan di Tegalsari.
Namun, mereka tidak dapat menaklukan benteng utama yang dikenal sebagai Benteng Sembulungan karena disergap oleh pasukan Blambangan yang bersembunyi di hutan-hutan.
Pertempuran kedua terjadi pada tahun 1631 ketika Sultan Agung kembali mengirimkan pasukan sebanyak 40.000 orang untuk menyerang Blambangan.
Pasukan Mataram berhasil merebut beberapa wilayah di sekitar Blambangan, seperti Jember, Lumajang, dan Bondowoso.
Namun, mereka kembali gagal menembus Benteng Sembulungan karena diserang oleh pasukan gabungan dari Blambangan dan Bali.
Pertempuran ketiga terjadi pada tahun 1638 ketika Sultan Agung mengirimkan pasukan sebanyak 60.000 orang untuk menghancurkan Blambangan.
Pasukan Mataram berhasil mendekati Benteng Sembulungan dan melakukan pengepungan selama beberapa bulan.
Namun, mereka kembali mengalami kegagalan karena kehabisan persediaan makanan dan air serta diserang oleh wabah penyakit.
Baca Juga: Kekuasaan Mataram Islam Surut di Masa Amangkurat I karena Kezalimannya?
Dampak Pertempuran
Pertempuran antara Blambangan dan Mataram berdampak besar bagi kedua belah pihak.
Bagi Blambangan, pertempuran ini menunjukkan keberanian dan ketangguhan mereka dalam mempertahankan tradisi dan kepercayaan mereka.
Blambangan juga mendapat dukungan dari kerajaan-kerajaan Hindu di Bali yang menganggap Blambangan sebagai saudara seiman dan sekutu strategis.
Bagi Mataram, pertempuran ini menimbulkan kerugian besar baik dari segi materi maupun moral.
Mataram kehilangan banyak pasukan, persediaan, dan waktu dalam mengejar Blambangan yang terus melawan.
Mataram juga tidak dapat mengklaim sebagai penguasa tunggal tanah Jawa karena masih ada wilayah yang tidak tunduk padanya.
Mataram juga harus menghadapi ancaman dari VOC yang mulai mengintervensi urusan dalam negeri Jawa.
Pertempuran antara Blambangan dan Mataram berakhir pada tahun 1646 ketika Sultan Agung meninggal dan digantikan oleh putranya, Amangkurat I.
Raja baru ini lebih memilih untuk berdamai dengan Blambangan dan mengakui statusnya sebagai kerajaan yang merdeka.
Blambangan pun dapat bertahan sebagai kerajaan Hindu terakhir di Jawa hingga abad ke-18, ketika akhirnya jatuh ke tangan VOC.