Kisah Paku Buwono II, Pendiri Mataram Islam Surakarta Di Seputar Peristiwa Geger Pecinan

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Sosok Paku Buwono II
Ilustrasi - Sosok Paku Buwono II

Intisari-online.com - Paku Buwono II adalah raja Kesultanan Mataram kesembilan yang memerintah antara tahun 1726-1749.

Ia juga dikenal sebagai Sunan Kumbul dan merupakan raja pertama Keraton Surakarta.

Nama aslinya adalah Raden Mas Prabasuyasa, putra dari Amangkurat IV dan Ratu Amangkurat, seorang permaisuri keturunan Sunan Kudus.

Pada masa pemerintahannya, Paku Buwono II menghadapi berbagai tantangan dan konflik, baik dari dalam maupun dari luar kerajaan.

Salah satu konflik terbesar yang ia alami adalah Geger Pecina yang dipicu oleh pemberontakan etnis Tionghoa di Batavia yang meluas ke Jawa Tengah dan Timur.

Pemberontakan ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang tidak puas dengan kebijakan Paku Buwono II, terutama yang berkaitan dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Kompeni Belanda.

Paku Buwono II awalnya berusaha menyeimbangkan hubungan antara Mataram dan VOC, tetapi kemudian ia memutuskan untuk bersekutu dengan VOC untuk menghadapi pemberontakan Tionghoa dan para penentangnya.

Salah satu penentangnya adalah Cakraningrat IV, bupati Madura Barat, yang merupakan iparnya sendiri.

Cakraningrat IV membenci pemerintahan Paku Buwono II yang dianggapnya bobrok dan korup.

Ia pun menawarkan diri untuk membantu VOC asalkan dibantu lepas dari Mataram.

Akibat perjanjian damai antara Paku Buwono II dan VOC yang ditandatangani pada Maret 1742, para pemberontak merasa tersingkir dan sakit hati.

Baca Juga: Kekuasaan Mataram Islam Surut di Masa Amangkurat I karena Kezalimannya?

Mereka pun mengangkat raja baru, yaitu Raden Mas Garendi sebagai Amangkurat V (juga disebut Sunan Kuning karena memimpin kaum berkulit kuning).

Amangkurat V adalah seorang cucu dari Amangkurat III yang masih berusia muda.

Perang Jawa berlanjut hingga tahun 1743, ketika Paku Buwono II berhasil merebut kembali Kartasura, ibu kota Mataram saat itu, dari tangan Amangkurat V.

Namun, ia tidak merasa aman di Kartasura karena banyak hal buruk yang terjadi di sana, seperti wabah penyakit dan bencana alam.

Ia pun menyerahkan sebagian wilayah dan kedaulatan Mataram kepada VOC.

Ia bahkan menyerahkan wilayah pesisir utara Jawa, termasuk Surabaya, sebagai hadiah kepada VOC karena telah membantunya mengalahkan Amangkurat V.

Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1749, sembilan hari sebelum kematiannya.

Perjanjian ini menimbulkan kekecewaan dan kemarahan di kalangan rakyat dan bangsawan Mataram, terutama adiknya yang bernama Raden Mas Said (kemudian bergelar Mangkunagara I) dan keponakannya yang bernama Raden Mas Garendi (kemudian bergelar Hamengkubuwana I).

Mereka menilai Paku Buwono II telah mengkhianati Mataram dan Islam dengan tunduk kepada VOC yang kafir.

Paku Buwono II juga mendapat ejekan dari VOC sendiri, yang menganggapnya sebagai raja yang lemah dan tak berdaya.

VOC bahkan menyebutnya sebagai “raja boneka” yang hanya bisa mengikuti perintah mereka .

Baca Juga: Perjuangan dan Pengorbanan Para Ulama Keraton Mataram Islam Surakarta dalam Peristiwa Pakepung 1790

Artikel Terkait