Perjuangan dan Pengorbanan Para Ulama Keraton Mataram Islam Surakarta dalam Peristiwa Pakepung 1790

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Peristiwa Pakepung di Mataram Islam Surakarta.
Ilustrasi - Peristiwa Pakepung di Mataram Islam Surakarta.

Intisari-online.com - Peristiwa pakepung adalah sebuah peristiwa sejarah yang terjadi pada tahun 1790, ketika Keraton Surakarta dikeroyok oleh Belanda, Yogyakarta, dan Mangkunegara.

Peristiwa ini dipicu oleh kebijakan Pakubuwana IV yang ingin menerapkan syariat Islam di wilayah Surakarta dan mengangkat para ulama sebagai penasehatnya.

Hal ini menimbulkan kecemasan dan kebencian dari para pejabat keraton yang korup dan berkecenderungan mistik, serta VOC yang merasa terancam oleh sikap anti-penjajahan Pakubuwana IV.

Dalam artikel ini, kita akan membahas tentang perjuangan dan pengorbanan para ulama keraton Surakarta yang mendukung Pakubuwana IV dalam peristiwa pakepung.

Para ulama ini adalah bagian dari 'santri pitu', yaitu tujuh ulama pilihan yang mempunyai tugas dan wewenang dari keraton untuk membimbing dan mengajarkan syariat Islam di Kasunanan Surakarta. Tujuh ulama tersebut adalah:

- Raden Santri- Raden Wiradigda- Pangeran Panengah- Raden Kandhuruhan- Kiai Nursholeh- Kiai Jamsari- Bagus Murtoyo (Kiai Muhammad Qorib)

Para ulama ini merupakan abdi dalem kinasih (terkasih) dari Pakubuwana IV.

Mereka berperan sangat kuat dalam menentukan kebijakan dan arah strategi politik dalam keamanan Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwana IV.

Mereka juga berusaha menyebarkan ajaran Islam yang murni dan bersih dari pengaruh mistik dan syirik yang merajalela di kalangan masyarakat Jawa saat itu.

Salah satu ulama yang paling menonjol adalah Bagus Murtoyo atau Kiai Muhammad Qorib.

Ia adalah seorang ulama yang berasal dari Kalioso, Sragen.

Baca Juga: Peristiwa Pemerkosaan Gadis 15 Tahun Di Parigi Muotong Seret Kades, Guru, Hingga Polisi

Ia merupakan anak angkat dari Pakubuwana IV, karena ia berhasil menemukan raja yang hilang saat berburu di hutan Krendawahana yang sangat angker.

Ia juga merupakan keturunan dari Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit.

Kiai Muhammad Qorib sangat dekat dengan Pakubuwana IV dan menjadi penasihat utamanya dalam urusan agama dan politik.

Ia juga menjadi guru bagi banyak santri yang belajar di pondok pesantren Jamsaren, yang didirikan oleh Kiai Jamsari, salah satu 'santri pitu' lainnya.

Lalu dikenal sebagai ulama yang alim, zuhud, tawadhu, dan berwibawa.

Namun, keberadaan para ulama ini tidak disukai oleh para pejabat keraton yang korup dan berkecenderungan mistik.

Mereka merasa terancam oleh reformasi yang dilakukan oleh Pakubuwana IV dan para ulama dalam bidang agama, hukum, pemerintahan, dan ekonomi. Mereka juga merasa tersingkir dari posisi dan kekuasaan mereka di keraton.

Oleh karena itu, mereka bersekongkol dengan VOC untuk menggulingkan Pakubuwana IV dan menghabisi para ulama.

Mereka juga menghasut Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegara untuk ikut mengepung Keraton Surakarta.

Mereka menyebarkan fitnah bahwa Pakubuwana IV ingin menyatukan kembali Mataram Islam dengan cara memerangi saudara-saudaranya.

Akhirnya, pada tanggal 26 November 1790, peristiwa pakepung terjadi. Ribuan pasukan gabungan Belanda, Yogyakarta, dan Mangkunegara mengepung Keraton Surakarta yang hanya berisi beberapa ratus orang saja.

Baca Juga: Hancur Lebur, Inilah Kondisi Candi Borobudur saat Pertama Kali Ditemukan, Kini Jadi Pusat Perayaan Peristiwa Waisak

Setelah terjadi pengepungan, Belanda mengultimatum Pakubuwana IV.

Ia diminta menyerahkan para ulama penasihatnya atau Keraton akan diserang dan Pakubuwana IV diturunkan dari takhta secara paksa.

Pakubuwana IV tidak mau menyerah begitu saja. Ia bersama para ulama mempertahankan Keraton dengan gigih.

Mereka berdoa kepada Allah SWT agar diberi pertolongan dan kemenangan.

Namun, karena kalah jumlah dan persenjataan, mereka akhirnya tidak mampu melawan serbuan musuh.

Pakubuwana IV terpaksa menyerahkan diri kepada Belanda demi menyelamatkan rakyatnya dari bencana perang.

Ia juga harus menyerahkan para ulama penasihatnya kepada Belanda untuk dibuang dan diasingkan ke berbagai tempat jauh dari tanah air mereka.

Para ulama ini mengalami nasib yang sangat tragis. Mereka harus meninggalkan keluarga, santri, pondok pesantren, dan keraton yang mereka cintai.

Mereka harus hidup dalam kesulitan dan kesengsaraan di tempat pengasingan mereka.

Mereka juga harus menghadapi siksaan dan penghinaan dari Belanda.

Namun, mereka tetap tegar dan sabar dalam menghadapi cobaan tersebut.

Mereka tetap istiqomah dalam menjalankan ibadah dan dakwah mereka di tempat pengasingan mereka. Mereka tetap menjaga aqidah dan akhlak mereka sebagai ulama yang taat kepada Allah SWT.

Para ulama ini wafat dalam keadaan syahid di tempat pengasingan mereka.

Mereka meninggalkan jejak sejarah yang sangat mulia bagi bangsa Indonesia khususnya umat Islam di Jawa.

Mereka menjadi teladan bagi generasi-generasi selanjutnya dalam hal perjuangan dan pengorbanan demi tegaknya syariat Islam di tanah air.

Artikel Terkait