Apa-apa yang dibangun Mataram Islam semasa Sultan Agung tidak berlanjut di era Amangkurat I yang justru menjalin kerja sama dengan VOC.
Intisari-Online.com -Bagi Sultan Agung, Amangkurat I adalah antitesisnya dalam sejarah Mataram Islam.
Mataram Islam di masa Sultan Agung adalah masa gemilang-gemilangnya.
Sementara Amangkurat I adalah kebalikannya: jadi sekutu VOC, melakukan pembantaian terhadap ulama dan lawan-lawan politiknya, memutus hubungan dengan wilayah mancanegara, dll.
Sejak masih muda, Amangkurat I memang seorang Putra Mahkota yang kontroversial.
Termasuk ketika dia bersekongkol dengan beberapa pembesar keraton untuk menculik istri tercantik Tumenggung Wiraguna, abdi dalem senior kesayangan Sultan Agung.
Amangkurat I resmi menggantikan ayahnya, Sultan Agung, pada 1646.
Dia mendapatkan warisan wilayah yang sangat luas dari ayahnya.
Pada masanya, keraton Mataram Islam dipindah dari Karta menuju Plered yang tak seberapa jauh jaraknya.
Pada tahun pertama berkuasa, dia sudah membuat keputusan kontroversial: menandatangani perjanjian dengan VOC.
Perjanjian itu berisi enam pasa:mengatur pengiriman utusan Belanda ke Mataram, kesediaan Belanda mengatur perjalanan ulama Mataram, pembebasan tawanan Belanda di Mataram, penyerahan orang-orang berutang, perang bersama, dan pelayaran bebas di Kepulauan Maluku.
VOC tentu senang dengan kesepakatan tersebut, karena dengan itu mereka bisa dengan leluasa mendirikan pos-pos pertahanan.
Meski begitu, dengan perjanjian itu, VOC mengakui Amangkurat I sebagai penguasa Mataram Islam dan bersedia mengirim duta setiap tahun dan hadiah yang banyk untuk raja.
Jika Amangkurat I bekerjasama dengan VOC, Sultan Agung justru dua kali menyerang kongsi dagang dari Belanda itu.
Meskipun dua serangan itu berakhir dengan kegagalan, paling tidak Mataram Islam dan Sultan Agung telah memberi preseden bagus soal sikap terhadap ekspansi bangsa asing.
Setahun berselang, Amangkurat I menyusun siasat licik untuk menyingkirkan Tumenggung Wiraguna dengan cara mengirimnya ke daerah Tapal Kuda.
Wiraguna diperintahkan untuk menaklukkan Blambangan di ujung Jawa Timur.
Tapi tujuan sebenarnya adalah supaya untuk menghabisi Wiraguna selagi dia jauh dari keluarganya.
Amangkurat I juga menghabisi keluarga abdi dalem sepuh kesayangan ayahnya itu.
Peristiwa itu ternyata punya korelasi dengan ambisi Pangeran Alit, adik tiri Amangkurat I, untuk melakukan kudeta.
Sayang, kudeta itu mudah saya dipadamkan.
Dan imbas dari kudeta yang gagal itu, sekitar 6.000 ulama beserta keluarga mereka dibantai di alun-alun Keraton Plered.
Pangeran Pekik, penguasa Surabaya, dan keluarganya juga menjadi korban kekejaman Amangkurat I.
Pembunuhan terhadap Pangeran Pekik inilah yang menjadi salah satu penyebab berkobarnya pemberontakan Trunojoyo, seorang bangsawan Madura yang dipaksa tinggal di keraton.
Bagaimanapun juga, Pangeran Pekik adalah kebanggaan wilayah Jawa Timur.
Di masa pemberontakan Trunojoyo inilah Amangkurat I harus menemui ajalnya.
Dalam pelariannya ke Barat setelah keratonnya diserbu oleh pasukan Trunojoyo dan Karaeng Galesong, Amangkurat I meninggal dan dimakamkan di daerah Tegalarum.
Sementara hubungan dengan VOC yang semakin mesra, hubungan Mataram Islam dan Kesultanan Gowa justru merenggang.
Hubungan Mataram dan Goa dibangun pada zaman Sultan Agung, di mana keduanya sama-sama berperang melawan VOC.
Amangkurat I menolak utusan Gowa dan meminta Sultan Hasanuddin sendiri untuk datang ke Jawa.
Namun, permintaan itu ditolak.