Selain Kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya menjadi kerajaan bercorak Buddha lainnya yang muncul di tanah Sumatera.
Intisari-Online.com -Jika ditanya apa kerajaan Buddha di Sumatera, kebanyakan kita akan menjawab Kerajaan Sriwijaya.
Usut punya usut, Sriwijaya ternyata bukan satu-satunya kerajaan bercorak Buddha di pulau yang kaya akan emas tersebut.
Kerajaan Buddha lainnya yang kita maksud adalahDharmasraya.
Kerajaan Dharmasraya merupakan kerajaan di Sumatera yang namanya muncul seiring dengan runtuhnya Kerajaan Sriwijaya.
Pada masa jayanya, kerajaan bercorak Buddha ini menjadi kerajaan terbesar di Sumatera yang memiliki banyak negeri bawahan.
Bahkan kekuasaannya membentang dari Sumatera, tanah Sunda, hingga Semenanjung Malaya.
Selain itu, Kerajaan Dharmasraya juga menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara.
Salah satunya adalah Kerajaan Singasari.
Kerajaan Dharmasraya merupakan penerus Kerajaan Melayu, yang pernah ditaklukkan oleh Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7.
Setelah kekuasaan Wangsa Sailendra di Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya berakhir, Melayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka.
Sejak itu, kerajaan terletak di Dharmasraya dan diperintah oleh Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa dari Wangsa Mauli.
Salah satu sumber sejarah Kerajaan Dharmasraya didapatkan dari Thailand, yakni Prasasti Grahi.
Prasasti berangka tahun 1183 Masehi itu memuat perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa terkait pembuatan arca Buddha kepada Mahasenapati Galanai, Bupati Grahi.
Raja-raja Kerajaan Dharmasraya:
- Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (1183-1286 M)
- Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa (1286-1316 M)
- Srimat Sri Akarendrawarman (1316-1347 M)
- Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa (Adityawarman).
Menurut catata, Kerajaan Dharmasraya berkembang dengan sangat cepat.
Bahkan pada masa awal pemerintahannya, kekuasaannya telah mencapai Grahi, yang terletak di perbatasan Kamboja dan Thailand.
Hal ini karena raja pertamanya segera melakukan penyerangan besar-besaran ke wilayah bekas kekuasaan Sriwiijaya.
Kemudian pada masa kekuasaan Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa, kerajaan ini berhasil menaklukkan dan menduduki Jawa bagian barat (tanah Sunda).
Setelah Sriwijaya runtuh, Dharmasraya menjadi kerajaan terbesar di Sumatera yang memiliki sekitar 15 kerajaan bawahan.
Dalam catatan Cina, Zhufan Zhi, karya Zhao Rugua yang ditulis pada 1225 M, Dharmasraya juga menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain di Asia Tenggara, salah satunya adalah Kerajaan Singasari.
Raja Kertanegara dari Singasari diketahui melakukan Ekspedisi Pamalayu pada 1275, untuk menjadikan Sumatera sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi bangsa Mongol.
Sebagai tanda persahabatan dengan Kerajaan Dharmasraya yang menguasai Sumatera, maka Raja Kertanegara mengirim arca Amoghapasa.
Prasasti Padang Roco menyebut bahwa arca Amoghapasa diberangkatkan dari Jawa dengan diiringi beberapa pejabat Singasari.
Setelah penyerahan arca, Raja Dharmasraya menghadiahkan dua putrinya, Dara Jingga dan Dara Petak.
Dara Petak nantinya diperistri oleh Raden Wijaya (pendiri Majapahit), sedangkan Dara Jingga diserahkan kepada Adwayabrahma, pejabat Singasari yang dikirim ke Sumatera pada 1286.
Dari Dara Jingga dan Adwayabrahma inilah lahir Adityawarman, penguasa terakhir Kerajaan Dharmasraya.
Di era Raja Adityawarman, Kerajaan Dharmasraya dipindahkan ke Pagaruyung dan nama kerajaannya menjadi Malayapura.
Penyebab runtuhnya Kerajaan Dharmasraya diperkirakan karena ekspansi Kerajaan Majapahit.
Kakawin Nagarakretagama menyebut bahwa bumi Melayu sebagai salah satu negeri jajahan Kerajaan Majapahit.
Pada 1339, Adityawarman dikirim sebagai raja bawahan Majapahit, untuk terlibat dalam beberapa penaklukan yang dimulai dengan menguasai Palembang.
Setelah membantu Majapahit inilah, Adityawarman memindahkan letak Kerajaan Dharmasraya, yang namanya kemudian dikenal sebagai Kerajaan Malayapura atau Pagaruyung.