Pada Januari 1947, Komisi Tiga Negara (Amerika Serikat, Australia, dan Belgia) yang ditugaskan untuk mengawasi pelaksanaan Perjanjian Linggarjati antara Indonesia dan Belanda mengutuk aksi Westerling sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Pada Februari 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mengeluarkan resolusi yang mengecam tindakan militer Belanda di Indonesia dan mendesak agar kedua belah pihak kembali ke meja perundingan.
Salah satu orang yang paling marah dengan aksi Westerling adalah Jenderal Simon Hendrik Spoor, panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia.
Spoor adalah orang yang bertanggung jawab atas operasi militer Belanda di Indonesia, termasuk operasi penumpasan pemberontakan di Sulawesi Selatan.
Namun, Spoor tidak menyetujui metode Westerling yang terlalu kejam dan tidak menghormati hukum perang.
Spoor khawatir bahwa aksi Westerling akan merusak citra Belanda di mata dunia dan memperburuk hubungan dengan Indonesia.
Spoor sendiri bersikap mendua terhadap kekejaman yang dilakukan oleh anak buahnya tersebut.
Ketika Peristiwa Sulawesi Selatan mulai bocor ke forum internasional, maka pada 17 Maret 1947, Spoor mengakui terjadinya peristiwa itu kepada Gubernur Letnan Jenderal H.J. van Mook.
Namun dalam surat yang sama, Spoor menyebut banyak juga korban dari pihak Belanda dan mengklaim bahwa Westerling telah berhasil menumpas pemberontakan dengan cara yang efektif.
Spoor juga tidak pernah menghukum Westerling secara resmi atas kejahatannya.
Westerling hanya dipindahkan dari Sulawesi Selatan ke Jawa dan diberi tugas lain.
Baca Juga: Sosok Tan Malaka Tokoh Kemerdekaan yang Dihormati Belanda Namanya Sampai Diabadikan di Amsterdam
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR