Intisari-online.com -Indonesia mengalami masa-masa sulit dalam mempertahankan kemerdekaannya dari upaya penjajahan kembali oleh Belanda pada tahun 1940-an.
Salah satu daerah yang menjadi saksi bisu dari kekejaman tentara Belanda adalah Sulawesi Selatan.
Di sana, ribuan rakyat sipil dibantai oleh pasukan khusus Belanda yang dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling, yang dikenal dengan sebutan Pembantaian Westerling.
Westerling tiba di Makassar pada 5 Desember 1946 dengan misi untuk menumpas pemberontakan rakyat yang mendukung Republik Indonesia.
Dia membawa pasukan Depot Speciale Troepen (DST) yang terdiri dari tentara-tentara pilihan yang terlatih dan bersenjata lengkap.
Dengan menggunakan metode brutal, Westerling dan pasukannya menyerbu desa-desa, memisahkan laki-laki dari perempuan dan anak-anak, dan mengeksekusi orang-orang yang diduga memiliki sikap anti-Belanda tanpa pengadilan.
Dalam kurun waktu tiga bulan, Westerling dan pasukannya membunuh sekitar 40 ribu orang di Sulawesi Selatan.
Korban-korban dibunuh dengan cara ditembak, ditikam, atau dibakar hidup-hidup. Banyak juga korban yang disiksa sebelum dibunuh.
Aksi pembantaian ini menimbulkan rasa ketakutan dan trauma di kalangan rakyat Sulawesi Selatan.
Bahkan, ketika Westerling hendak meninggalkan Makassar ke Jawa pada Maret 1947, banyak rakyat yang mengelu-elukannya karena takut akan kekejiannya.
Aksi kekejaman Westerling tidak hanya menimbulkan kemarahan rakyat Indonesia, tetapi juga pihak-pihak internasional.
Baca Juga: Begini Pengaruh Nasionalisme Di Asia Terhadap Pergerakan Nasional Di Indonesia
Pada Januari 1947, Komisi Tiga Negara (Amerika Serikat, Australia, dan Belgia) yang ditugaskan untuk mengawasi pelaksanaan Perjanjian Linggarjati antara Indonesia dan Belanda mengutuk aksi Westerling sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Pada Februari 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mengeluarkan resolusi yang mengecam tindakan militer Belanda di Indonesia dan mendesak agar kedua belah pihak kembali ke meja perundingan.
Salah satu orang yang paling marah dengan aksi Westerling adalah Jenderal Simon Hendrik Spoor, panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia.
Spoor adalah orang yang bertanggung jawab atas operasi militer Belanda di Indonesia, termasuk operasi penumpasan pemberontakan di Sulawesi Selatan.
Namun, Spoor tidak menyetujui metode Westerling yang terlalu kejam dan tidak menghormati hukum perang.
Spoor khawatir bahwa aksi Westerling akan merusak citra Belanda di mata dunia dan memperburuk hubungan dengan Indonesia.
Spoor sendiri bersikap mendua terhadap kekejaman yang dilakukan oleh anak buahnya tersebut.
Ketika Peristiwa Sulawesi Selatan mulai bocor ke forum internasional, maka pada 17 Maret 1947, Spoor mengakui terjadinya peristiwa itu kepada Gubernur Letnan Jenderal H.J. van Mook.
Namun dalam surat yang sama, Spoor menyebut banyak juga korban dari pihak Belanda dan mengklaim bahwa Westerling telah berhasil menumpas pemberontakan dengan cara yang efektif.
Spoor juga tidak pernah menghukum Westerling secara resmi atas kejahatannya.
Westerling hanya dipindahkan dari Sulawesi Selatan ke Jawa dan diberi tugas lain.
Baca Juga: Sosok Tan Malaka Tokoh Kemerdekaan yang Dihormati Belanda Namanya Sampai Diabadikan di Amsterdam
Spoor bahkan memberikan penghargaan kepada Westerling dan pasukannya atas jasa-jasa mereka dalam operasi militer di Indonesia.
Spoor sendiri meninggal dunia pada 25 Mei 1949 karena serangan jantung.
Peristiwa Sulawesi Selatan adalah salah satu contoh dari keganasan kolonialisme Belanda yang harus diingat oleh bangsa Indonesia.
Korban-korban yang tewas akibat pembantaian Westerling tidak boleh dilupakan begitu saja.
Mereka adalah pahlawan-pahlawan yang berjuang demi kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda.
Kita harus menghormati dan mengenang jasa-jasa mereka dengan menjaga kedaulatan dan persatuan bangsa Indonesia.