Intisari-Online.com -Sebuah kabar yang sedang hangat diperbincangkan oleh warganet adalah rencana Coldplay untuk menggelar konser di Jakarta, Indonesia pada tanggal 15 November 2023.
Coldplay adalah band rock alternatif asal Inggris yang terkenal dengan lagu-lagu hits mereka seperti “Yellow”, “The Scientist”, dan “Viva la Vida”.
Namun tahukah Anda bahwa lagu “Viva la Vida” terinspirasi oleh peristiwa eksekusi Louis XVI, raja Prancis terakhir.
Bagaimana kisahnya? Simak ulasannya berikut ini.
Kisah di Balik Lagu 'Viva la Vida'
Salah satu lagu populer yang pernah dibawakan oleh band asal Inggris, Coldplay, adalah 'Viva la Vida'.
Namun, tahukah Anda bahwa lagu ini terinspirasi oleh peristiwa sejarah yang tragis?
Lagu ini bercerita tentang pidato terakhir raja Louis XVI sebelum dieksekusi dengan guillotine di tengah Revolusi Prancis pada tahun 1793.
Dalam lagu ini, sang raja menyatakan penyesalannya atas kesalahan-kesalahan yang telah ia lakukan dan mengungkapkan kerinduannya akan masa lalu yang indah dan damai.
Lirik lagu ini mengandung banyak referensi sejarah, seperti:
Baca Juga: Kisah Band Coldplay, Lakukan Misi Rahasia Penyelamatan Bumi dengan Musik
1) “Roman Cavalry choirs are singing”, yang merujuk pada Gereja Katolik Roma yang mendukung raja;
2) “Be my mirror, my sword and shield”, yang merujuk pada lambang kerajaan Prancis yang berbentuk tiga bunga lili
3) “I know Saint Peter won’t call my name”, yang merujuk pada Santo Petrus yang menurut kepercayaan Kristen adalah penjaga pintu surga; dan
4) “Revolutionaries wait for my head on a silver plate”, yang merujuk pada para revolusioner yang menuntut kematian raja.
Louis XVI, Raja Prancis Terakhir
Lalu, siapakah Louis XVI sebenarnya?
Melansir History.com,Ia adalah raja terakhir dari Prancis (1774-1792) dalam dinasti Bourbon yang mendahului Revolusi Prancis tahun 1789.
Ia naik tahta pada usia 20 tahun dan mewarisi masalah keuangan yang sangat besar dari kakeknya, raja Louis XV.
Ia juga membiarkan istrinya yang tidak populer, Marie Antoinette, berkomplot dengan negara-negara asing untuk melawan revolusi.
Pada tahun 1789, ia memanggil Majelis Umum (States-General), sebuah lembaga perwakilan tiga golongan rakyat Prancis: kaum bangsawan, kaum rohaniwan, dan kaum rakyat jelata.
Majelis Umum ini tidak pernah dipanggil sejak tahun 1614, dan golongan rakyat jelata memanfaatkan kesempatan ini untuk menyatakan diri sebagai Majelis Nasional (National Assembly), yang memicu Revolusi Prancis.
Baca Juga: Suka Pamer Harta, Leher Marie Antoinette Berakhir di Pisau Guillotine
Pada tanggal 14 Juli 1789, kekerasan meletus ketika warga Paris menyerbu Bastille —sebuah penjara negara di mana mereka percaya ada persediaan amunisi.
Meskipun secara lahiriah menerima revolusi, Louis menolak saran dari para penganut monarki konstitusional yang berusaha mereformasi monarki untuk menyelamatkannya; ia juga mengizinkan persekongkolan reaksioner dari ratunya, Marie Antoinette.
Pada bulan Oktober 1789, sebuah massa bergerak ke Versailles dan memaksa pasangan kerajaan itu pindah ke Tuileries; pada bulan Juni 1791, oposisi terhadap pasangan itu telah menjadi begitu keras sehingga keduanyadipaksa melarikan diri ke Austria.
Dalam perjalanan mereka, Marie dan Louis ditangkap di Varennes, Prancis, dan dibawa kembali ke Paris. Di sana, Louis dipaksa menerima konstitusi tahun 1791, yang mengurangi dia menjadi sekadar boneka.
Pada bulan Agustus 1792, pasangan kerajaan itu ditangkap oleh kaum sans-culottes dan dipenjara, dan pada bulan September monarki dihapuskan oleh Konvensi Nasional (yang menggantikan Majelis Nasional).
Pada bulan November, bukti-bukti persekongkolan Louis XVI dengan Austria dan negara-negara asing lainnya ditemukan, dan ia diadili atas tuduhan pengkhianatan oleh Konvensi Nasional.
Pengadilan dan Eksekusi Louis XVI
Louis XVI, raja terakhir Prancis sebelum jatuhnya monarki selama Revolusi Prancis, dieksekusi secara terbuka pada tanggal 21 Januari 1793 di Place de la Révolution di Paris.
Empat hari sebelumnya, ia diadili dan dinyatakan bersalah atas pengkhianatan tinggi oleh Konvensi Nasional dalam suara hampir bulat; sementara tidak ada yang memilih “tidak bersalah”, beberapa deputi abstain.
Akhirnya, mereka menghukumnya mati dengan mayoritas sederhana.
Eksekusi dengan guillotine dilakukan oleh Charles-Henri Sanson, yang saat itu menjadi algojo tertinggi Republik Prancis Pertama dan sebelumnya algojo kerajaan di bawah Louis.
Eksekusi ini sering dianggap sebagai titik balik dalam sejarah Prancis dan Eropa, yang menginspirasi berbagai reaksi di seluruh dunia.
Bagi sebagian orang, kematiannya di tangan mantan rakyatnya melambangkan akhir dari periode seribu tahun monarki absolut di Prancis dan awal sebenarnya dari demokrasi di negara itu, meskipun Louis tidak akan menjadi raja terakhir Prancis.
Yang lain (bahkan beberapa yang mendukung reformasi politik besar-besaran) mengutuk eksekusi sebagai tindakan pembunuhan yang sia-sia dan melihatnya sebagai tanda bahwa Prancis telah berubah menjadi negara kekerasan, amoral, dan kacau (Teror Besar).
Kematian Louis memberi semangat kepada para revolusioner di seluruh negeri, yang terus mengubah struktur politik dan sosial Prancis secara radikal selama beberapa tahun berikutnya.
Sembilan bulan setelah kematian Louis, istrinya Marie Antoinette, mantan ratu Prancis, juga mati di guillotine di lokasi yang sama di Paris.