Intisari-online.com -Raja Mataram yang bernama Sunan Amangkurat I memerintah dari tahun 1646 sampai 1677.
Dia adalah anak dari Sultan Agung, raja Mataram yang terkenal dengan perluasan wilayahnya ke berbagai daerah di Jawa dan luar Jawa.
Sunan Amangkurat I meneruskan ambisi ayahnya untuk menjadikan Mataram sebagai kerajaan terbesar dan terkuat di Nusantara.
Salah satu target Sunan Amangkurat I adalah Banten, sebuah kerajaan Islam yang berada di ujung barat Pulau Jawa.
Banten merupakan pesaing Mataram dalam hal perdagangan dan politik.
Banten juga menolak untuk tunduk kepada Mataram dan menganggap dirinya sebagai kerajaan merdeka yang hanya mengakui Sultan Mekah sebagai raja di atasnya.
Pada tahun 1651, Sunan Amangkurat I berhasil mengalahkan Cirebon, sebuah kerajaan bawahan Banten yang berada di pantai utara Jawa.
Ini membuat Sunan Amangkurat I semakin yakin untuk menyerang Banten.
Dia merencanakan sebuah ekspedisi besar-besaran ke Banten pada pertengahan tahun 1652.
Dia menunjuk pamannya, Pangeran Purbaya, sebagai pemimpin penyerangan.
Dia juga memerintahkan para pembuat senjata untuk membuat banyak senapan dan meriam untuk persiapan perang.
Baca Juga: Arung Palakka, Pangeran Bugis Yang Bantu VOC Dan Mataram Islam Hancurkan Pemberontakan Trunojoyo
Namun, rencana Sunan Amangkurat I mendapat tentangan dari para pemuka agama di Mataram.
Mereka mengingatkan bahwa Sultan Agung, pada waktu akhir hayatnya, telah berpesan agar senjata Mataram pertama-tama harus diarahkan ke timur kemudian ke barat.
Artinya, Mataram harus lebih dahulu menaklukkan Blambangan (Banyuwangi).
Sebuah daerah yang dikuasai oleh orang-orang Bali yang dianggap kafir, sebelum menyerang kaum seagama di Banten.
Sunan Amangkurat I tidak menghiraukan pesan itu. Dia tetap bersikeras untuk menyerang Banten.
Dia bahkan mencoba meriam-meriam buatan Jawa dan Belanda di lapangan alun-alun.
Namun, salah satu meriam Jawa meledak dan hancur berkeping-keping saat ditembakkan.
Keping terbesar jatuh di depan Sunan Amangkurat I dan membuatnya terkejut.
Dia memerintahkan pembuat meriam itu ditangkap dan lapangan serta pintu gerbangnya ditutup semen.
Kejadian itu mungkin menjadi pertanda buruk bagi rencana Sunan Amangkurat I.
Tak lama kemudian, dia terserang penyakit bisul yang sangat menyakitkan.
Baca Juga: Sebelum Perjanjian Giyanti, Ada Perjanjian Lain Yang Merugikan Mataram Islam, VOC Menang Banyak
Penyakit itu membuatnya tidak bisa bergerak dan berbicara dengan lancar.
Dia terpaksa membatalkan ekspedisi ke Banten dan menyerahkan urusan pemerintahan kepada adiknya, Pangeran Adipati Anom.
Penyakit bisul yang diderita oleh Sunan Amangkurat I bukan hanya membuat ambisinya untuk menaklukkan Banten gagal, tetapi juga membuka peluang bagi pemberontakan-pemberontakan di dalam Mataram.
Salah satu pemberontakan terbesar adalah yang dipimpin oleh Trunojoyo, seorang adipati Madura yang berhasil merebut Surabaya dan mengancam ibu kota Mataram, Plered.
Pemberontakan ini juga didukung oleh Pangeran Puger, adik Sunan Amangkurat I yang merasa tersaingi oleh Pangeran Adipati Anom.
Akibat pemberontakan Trunojoyo dan Pangeran Puger, Sunan Amangkurat I harus melarikan diri dari Plered ke Tegal pada tahun 1677.
Dia meninggal dalam pelarian karena penyakit bisul.