Intisari-online.com -Tanggal 16 Mei 1945 menjadi hari yang menyedihkan dalam sejarah Indonesia.
Pada hari itu, para tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar, Jawa Timur, mendapat hukuman mati dari tentara Jepang.
Karena terlibat dalam pemberontakan yang dipimpin oleh Shodancho Supriyadi pada 14 Februari 1945.
Pemberontakan PETA di Blitar merupakan salah satu bentuk perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Jepang yang semakin brutal dan sewenang-wenang.
Meskipun PETA dibentuk oleh Jepang sebagai tentara teritorial untuk membantu mempertahankan wilayah Indonesia dari serangan Sekutu.
Namun para anggota PETA tidak sepenuhnya patuh kepada Jepang.
Mereka masih memiliki semangat nasionalisme dan patriotisme yang tinggi untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Mereka juga tidak tahan melihat penderitaan rakyat akibat kebijakan Jepang yang memaksa mereka menjadi romusha (kerja paksa), mengeksploitasi hasil bumi, dan mengambil alih sumber daya alam.
Pemberontakan PETA di Blitar dipicu oleh kejadian pada sore hari setelah latihan militer.
Para tentara PETA mendengar jeritan para petani yang dipaksa menjual padinya kepada kumiai (organisasi pembeli padi) melebihi jatah yang telah ditentukan.
Akibatnya, petani tidak memiliki cukup padi untuk kebutuhan keluarganya sendiri dan terancam kelaparan.
Baca Juga: Belajar dari Peristiwa Kematian Bocah di Malaysia, Ini Ciri, Penyebab, dan Cara Atasi Dehidrasi
Para tentara PETA juga mendengar bahwa Jepang telah memerintahkan pembelian telur besar-besaran dengan harga murah untuk tentara PETA.
Padahal mereka sendiri tidak pernah mendapatkan jatah telur.
Kekecewaan dan kemarahan mereka semakin memuncak.
Maka pada malam harinya, Supriyadi bersama beberapa rekan-rekannya merencanakan pemberontakan terhadap Jepang.
Mereka berhasil menggerakkan sebagian besar anggota Daidan (Batalyon) Blitar untuk bergabung dengan mereka.
Mereka juga mendapat dukungan dari rakyat setempat yang bersedia membantu dengan memberikan informasi dan perlengkapan.
Pada dini hari tanggal 14 Februari 1945, pemberontakan dimulai dengan menyerang Hotel Sakura yang menjadi markas para perwira Jepang.
Mereka berhasil membunuh beberapa perwira Jepang dan merebut senjata dan amunisi. Mereka juga menyerang beberapa pos dan gudang milik Jepang di sekitar kota Blitar.
Namun, pemberontakan tidak berlangsung lama.
Tentara Jepang segera mengirimkan bala bantuan dari Malang dan Kediri untuk menghentikan pemberontakan.
Mereka juga mendapat bantuan dari anggota PETA lainnya yang tidak ikut memberontak atau yang telah ditawan oleh Jepang.
Baca Juga: Jalan Lampung Diperbaiki Bak Peristiwa Langka, Terungkap Alasan Jalan di Indonesia Gampang Rusak
Perlawanan PETA di Blitar akhirnya dipadamkan oleh Jepang dengan kekerasan.
Banyak tentara PETA yang gugur dalam pertempuran atau ditangkap dan disiksa oleh Jepang.
Nasib Supriyadi sendiri masih menjadi misteri hingga kini.
Ada beberapa versi tentang apa yang terjadi padanya.
Versi pertama menyebutkan bahwa Supriyadi tewas dalam pertempuran di Desa Ngadirejo pada 15 Februari 1945.
Versi kedua menyebutkan bahwa Supriyadi berhasil melarikan diri dari Blitar dan bergabung dengan gerakan perlawanan lainnya di daerah lain.
Versi ketiga menyebutkan bahwa Supriyadi ditangkap oleh Jepang dan dibawa ke Surabaya untuk diinterogasi.
*Artikel ini dibuat dengan bantuan Ai