Salah satu pemicunya adalah rencana pembangunan jalan raya di tanah milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa seizinnya.
Hal ini membuat Pangeran Diponegoro marah dan memutuskan untuk memberontak terhadap Belanda pada tahun 1825.
Perang ini berlangsung selama lima tahun dengan strategi perang gerilya yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.
Dia berhasil menggalang dukungan dari berbagai kalangan, baik dari keraton, ulama, kyai, hingga rakyat biasa.
Kemudian juga mendapat bantuan dari beberapa penguasa daerah lainnya, seperti Pangeran Mangkubumi dari Surakarta dan Sultan Sepuh dari Cirebon.
Perang ini menimbulkan kerugian besar bagi kedua belah pihak, baik dalam hal korban jiwa maupun materi.
Diperkirakan sekitar 200 ribu orang Jawa, 8 ribu tentara Belanda, dan 7 ribu pribumi yang berpihak pada Belanda tewas dalam perang ini.
Kerugian materi mencapai 25 juta gulden, atau setara dengan sepertiga anggaran Hindia Belanda saat itu.
Perlawanan Pangeran Diponegoro mulai melemah setelah Belanda mengubah strateginya dengan membangun jaringan pos-pos pertahanan yang saling terhubung dengan jalan-jalan yang baik.
Hal ini membuat gerakan gerilya Pangeran Diponegoro sulit berkembang.
Selain itu, Belanda juga melakukan taktik adu domba dan tipu muslihat untuk memecah belah para pendukung Pangeran Diponegoro.
Akhirnya, pada tahun 1830, Pangeran Diponegoro setuju untuk melakukan perundingan damai dengan Belanda di Magelang.
Namun, dalam pertemuan tersebut, ia ditangkap secara licik oleh Belanda dan diasingkan ke Makassar.
Ia meninggal di sana pada tanggal 8 Januari 1855 dan dimakamkan di Kampung Melayu.
Pangeran Diponegoro adalah sosok pahlawan yang berani dan gigih dalam mempertahankan tanah airnya.
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR