Gelar tersebut adalah Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi.
Pemberian gelar itu dilengkapi dengan kuluk untuk mahkotanya, bendera, pataka, dan sebuah guci yang berisi air zamzam.
Guci yang dulunya berisi air zamzam itu kini ada di makam Astana Kasultanagungan di Imogiri dengan nama Enceh Kyai Mendung.
Sejak itu, Anyakrakusuma dikenal dengan Sultan Agung.
Tapi gelar tersebut hanya digunakan selama empat tahun (1641-1645), dimulai semenjak Sultan Agung menerima gelar tersebut dari 1641 hingga wafat pada 1645.
Setelah dirinya, tak ada lagi raja Mataram yang bergelar sultan.
Persaingan antara Sultan Agung dari Mataram dan Sultan Agung dari Banten juga menarik untuk diceritakan.
Semua berawal ketika Mataram menerapkan politik ekspansi sejak 1613.
Sesuai namanya, politik itu bertujuan menyatukan seluruh wilayah Jawa di bawah panji Mataram.
Surabaya sudah ditaklukkan, kini giliran Kesultanan Banten.
Sultan Agung beranggapan, Banten harus menjadi bagian dari Mataram karena dulu Banten adalah bagian dari Kesultanan Demak, leluhur Mataram.
Terlebih, pada 1619, Kesultanan Cirebon juga sudah tunduk kepada Mataram, disusul kerajaan-kerajaan di sekitarnya.
Sultan Agung pun mempersiapkan tentaranya untuk berekspansi ke arah barat.
Tapi sebelum menyerbu Banten, Sultan Agung harus menyerbu Batavia lebih dahulu agar bisa mengusir VOC dan menjadikan Batavia sebagai pangkalan militer.
Dengan begitu, tinggal menunggu waktu saja Banten bakal dikuasai.
Tapi alih-alih menaklukkan Banten, Mataram justru terjegal oleh Batavia, oleh VOC, dalam dua kali serangannya, 1628 dan 1629.
Sejak itu, Banten dan Mataram terus bermusuhan hingga terjadi Pemberontakan Trunajaya yang terjadi di tahun 1674.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR