Intisari-online.com - Pada tahun 1947, Indonesia menghadapi ancaman dari Belanda yang ingin merebut kembali kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Belanda melancarkan agresi militer pertama dengan menyerang beberapa wilayah di Sumatera, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Salah satu daerah yang menjadi sasaran serangan Belanda adalah Madura, sebuah pulau di sebelah timur Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Madura dikenal sebagai daerah yang memiliki banyak ulama dan pesantren.
Para ulama Madura memiliki peran penting dalam menyebarkan dan mempertahankan ajaran Islam di Nusantara.
Mereka juga turut berjuang melawan penjajahan Belanda sejak zaman VOC hingga masa kemerdekaan.
Para ulama Madura tidak tinggal diam ketika mendengar rencana Belanda untuk menguasai kembali Indonesia.
Mereka merasa berkewajiban untuk berjihad fisabilillah, yaitu berperang di jalan Allah untuk membela agama dan tanah air.
Perlawanan ulama Madura terhadap penjajah Belanda terjadi pada bulan Ramadhan, bulan suci bagi umat Islam.
Meskipun dalam kondisi berpuasa, para ulama dan santri tidak kehilangan semangat juang.
Mereka menganggap puasa sebagai ibadah yang dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan mereka kepada Allah.
Baca Juga: Jelang 1 Abad Peringatan PBNU, Ini Sejarah Berdirinya PBNU Pada Masa Penjajahan
Selain itu mereka juga mengambil pelajaran dari sejarah Islam, bahwa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya pernah berperang melawan musuh-musuh Islam di bulan Ramadhan, seperti dalam Perang Badar dan Perang Khandaq.
Perlawanan ulama Madura dimulai dengan menggelar rapat akbar di Pamekasan, ibu kota Madura saat itu.
Rapat akbar tersebut dihadiri oleh para ulama dari seluruh Madura.
Seperti KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Ahmad Dahlan, KH. Abdul Karim Opoq, KH. Muhammad Zainuddin Fanani, KH. Muhammad Nuruddin Amin, KH. Muhammad Sholeh Darat, dan lain-lain.
Rapat akbar tersebut menghasilkan keputusan yang tegas dan historis, yaitu:
"Bagi umat Islam laki-laki dan perempuan wajib hukumnya ikut perang jihad fisabilillah mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dan mengusir penjajah Belanda dari Madura."
Keputusan tersebut langsung disampaikan kepada masyarakat Madura melalui mimbar-mimbar masjid dan pesantren.
Para ulama juga membentuk pasukan-pasukan perlawanan yang terdiri dari santri-santri dan rakyat biasa yang bersenjatakan bambu runcing, golok, tombak, parang, dan senapan-senapan sisa perang dunia kedua.
Pasukan-pasukan perlawanan tersebut diberi nama-nama seperti Hizbullah (Partai Allah), Sabilillah (Jalan Allah), Mujahidin (Prajurit Allah), Ansor (Penolong), Barisan Pemuda Islam (BPI), Barisan Pemuda Muslimin (BPM).
Mereka bergerak dari berbagai wilayah di Madura, seperti Pamekasan, Sumenep, Bangkalan, dan Sampang.
Perlawanan ulama Madura terhadap penjajah Belanda mencapai puncaknya pada tanggal 28 Juli 1947, ketika pasukan Belanda menyerang Pamekasan dari arah utara dan selatan.
Pasukan Belanda yang berjumlah sekitar 2.000 orang bersenjatakan tank, meriam, mortir, dan pesawat tempur.
Baca Juga: Muhammadiyah dan NU Kerap Berbeda Menentukan Tanggal Idul Fitri, Mana Yang Benar?
Mereka menghadapi pasukan perlawanan ulama Madura yang berjumlah sekitar 10.000 orang bersenjatakan senjata tradisional dan sisa-sisa senjata perang dunia kedua.
Pertempuran sengit terjadi di sekitar kota Pamekasan. Pasukan perlawanan ulama Madura berjuang dengan gagah berani dan penuh semangat.
Mereka tidak takut menghadapi senjata-senjata canggih milik Belanda. Mereka yakin bahwa Allah akan menolong mereka dan memberikan kemenangan kepada mereka.
Dengan mengandalkan strategi dan taktik perang yang dipimpin oleh para ulama yang berpengalaman dalam bidang militer.
Salah satu tokoh ulama yang memimpin perlawanan ulama Madura adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah.
Beliau adalah seorang ulama yang juga seorang pejuang dan politisi.
Beliau pernah menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang ikut menyusun naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Juga pernah menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).
Selain itu, beliau juga merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.
*Artikel ini dibuat dengan bantuan Ai