Hal ini terlihat dari arsitektur masjid Kudus, yang memiliki bentuk menara, gerbang, dan pancuran yang melambangkan delapan jalan Budha. Sunan Kudus juga memancing masyarakat untuk pergi ke masjid dengan menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid.
Sunan Kalijaga lebih fleksibel dan inklusif, yang menekankan pada aspek hakikat dan makrifat Islam. Ia menggunakan budaya Jawa sebagai media untuk menyebarkan Islam, seperti gamelan, wayang, tembang, dan cerita-cerita. .
Sunan Kalijaga melakukan dakwah dengan sangat toleran terhadap budaya lokal. Ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjauh jika pendirian mereka diserang. Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi.
Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Sunan Kalijaga menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah.
Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, lakon wayang 'Petruk Jadi Raja'. Sunan Kalijaga juga mengajarkan konsep momor (membaur), momong (membimbing), momot (menampung) dalam berdakwah.
Dampak bagi Islam di Pulau Jawa
Dampak dari persaingan Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga adalah adanya variasi dalam cara beragama dan bermasyarakat di Jawa.
Islam di Jawa tidak monolitik, tetapi dinamis dan adaptif. Islam di Jawa juga tidak menghapus budaya Jawa, tetapi menghormati dan mengintegrasikannya.
Islam di Jawa juga tidak hanya bersifat formalis, tetapi juga spiritualis. Islam di Jawa menjadi salah satu contoh dari keberagaman dan keindahan Islam di Nusantara.
Menurut NU, akar Islam di Nusantara dapat ditelusuri kembali setidaknya hingga abad ke-16, sebagai hasil dari interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi dan vernakularisasi nilai-nilai Islam universal, sesuai dengan realitas sosio-budaya Indonesia.
Baca Juga: Mengenal Sedulur Papat Kalima Pancer: Konsep Spiritual Jawa yang Diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga
Penulis | : | Yoyok Prima Maulana |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR